"Sebenarnya kita masih dalam proses memperbaiki manajemen airnya. Belum dikatakan buru-buru berhasil dan belum dikatakan buru-buru gagal karena itu masih dalam proses," kata dia.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah terancam gagal sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional.

Menurut Moeldoko, program lumbung pangan memang berada dalam kondisi alam yang tidak mudah, yakni karena tata ruang air dan kondisi tanah.

"Memang lumbung pangan, khususnya padi yang saya lihat kawasan itu adalah kawasan yang 'flat' sehingga tidak mudah dalam me-manage airnya karena sungai yang besar itu selalu membuat kondisi naik turun. Sudah kita perbaiki haranya, tanahnya, tahu-tahu datang lagi air menggenang lagi," kata Moeldoko usai menghadiri acara bedah buku "M-Leadership, Berani Memimpin" di Jakarta, Kamis.

Mantan Panglima TNI itu menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah masih memperbaiki tata air.

Oleh karena itu, ia menilai proyek ini belum bisa dikatakan gagal, maupun berhasil.

"Sebenarnya kita masih dalam proses memperbaiki manajemen airnya. Belum dikatakan buru-buru berhasil dan belum dikatakan buru-buru gagal karena itu masih dalam proses," kata dia.

Moeldoko juga menambahkan bahwa produksi padi masih terus digenjot karena kondisi manajemen air yang tidak mudah.

Sebelumnya, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Muhammad Yadi Sofyan Noor mengatakan program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah perlu dilanjutkan untuk mencapai ketahanan pangan nasional di masa mendatang.

Yadi mengatakan program tersebut penting sebagai pengganti penyusutan dan konversi lahan pertanian di Pulau Jawa.

Dia mengakui program lumbung pangan di Kalimantan Tengah masih membutuhkan perbaikan dalam pelaksanaannya, seperti tata ruang air dan kondisi tanah.

"Sebagian masih dirapikan, termasuk irigasi. PH tanah juga masih asam, perlu pengapuran. Tapi, ada juga yang sudah bagus dan bisa ditanami dengan hasil baik," kata dia.

Selain itu, petani juga masih harus terus didorong untuk mengubah kebiasaan ritme tanam padi, dari yang hanya satu kali dalam setahun diharapkan menjadi lebih sering, yakni dua sampai tiga kali dalam setahun.

 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022