Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai strategi transformasi sistem kesehatan di Indonesia masih butuh perbaikan melalui sebuah strategi yang dirancang secara berkelanjutan dan lebih fokus sebagai refleksi kesehatan di tahun 2022.

“Transformasi kesehatan itu bukan hal baru. Kita bukan bicara harus ada perubahan struktur, tapi bagaimana memastikan Indonesia punya Rencana Strategi (Renstra) atau peta jalan kesehatan dalam waktu panjang yang dipatuhi pemerintah kesehatan. Ini belum ada di Indonesia,” kata Dicky saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Menkes rombak jajaran untuk kawal transformasi sistem kesehatan

Dicky menuturkan, pandemi COVID-19 sebetulnya telah mengungkap kelemahan sistem kesehatan dunia dan Indonesia. Berbicara terkait ketahanan global, sistem kesehatan Indonesia belum dapat disebut baik, karena tiga indikatornya, yakni deteksi dini, preventif dan respon masih lemah.

Kelemahan tersebut terbukti dengan kembali timbulnya wabah-wabah lama seperti monkey pox, hepatitis B dan polio. Bahkan dengan berbagai transformasi yang sejak dahulu dilakukan, Indonesia masih kewalahan menghadapi penyakit seperti DBD, malaria dan Tuberkulosis (TBC).

“Harusnya untuk menjaga bukan hanya kualitas kesehatan dan layanan kesehatan. Tapi juga mencegah timbulnya berbagai wabah. Artinya keberlanjutan dari layanan kesehatan yang harusnya bisa dijaga selama pandemi itu gagal dilakukan. Itu adalah ciri sistem kesehatan kita lemah atau cenderung buruk,” katanya.

Baca juga: Wapres harap sistem kesehatan RI jadi lebih tangguh

Menurutnya, kelemahan sistem kesehatan terjadi karena kebijakan akan terus berubah mengikuti pergantian pemerintah. Banyak program jadi tidak berlanjut atau berganti fokus penanganan pada penyakit lainnya.

Hal itu menyebabkan banyak pengeluaran dana yang tidak diperlukan dan berdampak pada lemahnya sistem deteksi dini serta surveilans. Tidak hanya deteksi COVID-19, namun juga penyakit lainnya sehingga banyak pasien yang telat mendapatkan penanganan. Laboratorium yang memadai juga belum tersebar merata.

Baca juga: Pandemi buka jalan transformasi menuju arsitektur sistem kesehatan

Sementara dalam upaya preventif, promosi kesehatan yang digemakan kurang menekankan pentingnya pencegahan melalui lingkungan yang sehat dan berkualitas hingga sanitasi dan air bersih.

“Ini berbeda dengan negara maju yg memperkuat program preventif dan promosi kesehatannya, yang pada gilirannya membuat mereka tidak mengalami lonjakan kasus seperti negara berkembang,” ucapnya.

Baca juga: Bappenas: Pandemi COVID-19 ajarkan RI untuk perkuat sistem kesehatan

Apalagi dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, respon lemah tersebut berbahaya. Butuh peningkatan kemampuan sumber daya kesehatan terhadap banyak penyakit dan tidak difokuskan pada COVID-19 saja, guna mencegah penanganan penyakit lain terbengkalai.

“Kita harus tahu apa yang mau diperbaiki dan jujur terhadap kelemahan kita. Kalau tidak, itu yang membuat transformasi kesehatan tidak akan sukses. Jadi beranjaknya harus dari analisa permasalahannya, termasuk base line data dan daya dukung saat ini,” ujarnya.

Baca juga: Ketua DPD RI: Sistem kesehatan Indonesia harus diperbaiki

Dicky meminta agar pemerintah mulai menyusun fokus masalah yang ingin diselesaikan secara satu per satu. Hal tersebut akan lebih mengefektifkan kinerja pemerintah beserta pemberian penanganan bagi para pasien.

Pemerintah juga harus melanjutkan program yang sudah dibuat dengan optimal, meski nantinya akan berganti kepemimpinan. Dengan demikian, banyak dana dapat dialokasikan untuk penanganan wabah atau penyelesaian penyakit lainnya.

“Melakukan transformasi kesehatan itu perjalanan panjang. Sehingga harus ada prioritas, setidaknya pemerintahan sekarang ini harus meletakkan dasar fondasi untuk memastikan bahwa program di rumah sakit beserta infrastrukturnya itu punya prioritas,” kata Ahli Ketahanan Global tersebut.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022