Tahun 2023 menjadi tahun yang berat karena potensi krisis ekonomi dunia.
Jakarta (ANTARA) - Hasil survei nasional Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menyimpulkan bahwa tahun 2023 merupakan tahun yang berat dan gelap, karena dihantui tekanan dan potensi ancaman multidimensi yang tidak mudah, baik dipengaruhi faktor dari dalam maupun luar negeri.

"Tahun 2023 menjadi tahun yang berat karena potensi krisis ekonomi dunia sebagai efek lanjutan perang Rusia-Ukraina, instabilitas pasar keuangan, dan meroketnya inflasi dunia, hingga risiko stagflasi serta ancaman instabilitas nasional, seperti radikalisme, terorisme, dan separatisme Papua," kata Direktur Eksekutif LPI Boni Hargens saat memaparkan hasil survei bertajuk "Spektrum Potensi Ancaman Nasional Tahun 2023", di Jakarta, Jumat.

Kesimpulan itu berdasarkan pandangan jelas intelektual menengah terhadap empat indikator yang terjadi di tahun 2023.

Pertama, indikator stabilitas dan ancaman resesi ekonomi. Mayoritas responden meyakini pada 2023 gelombang resesi ekonomi berpotensi berdampak pada ketahanan ekonomi nasional.

"Dari survei tersebut, sebesar 27,83 persen yakin dan 29,17 persen sangat yakin adanya ancaman resesi ekonomi. Sementara 37,52 persen yakin dan 15,59 persen sangat yakin situasi nasional memburuk pada tahun 2023," kata Boni.

Indikator kedua, yakni politik identitas yang diyakini oleh responden akan meningkat pada tahun 2023, yakni 67,75 persen (yakin dan sangat yakin).

"Penyebab politisasi agama pada 2023, setidaknya dipicu oleh dua faktor, yaitu ideologi dan politik. Untuk faktor ideologi 31,8 persen dan tertinggi kedua adalah politik dengan 28,33 persen," ujarnya pula.

Ketiga, dimensi ancaman kekerasan horizontal dan separatisme Papua. Penilaian terbesar dari responden yang meyakini akan ada potensi kekerasan antarpendukung partai pada 2023 sebesar 36,75 persen.

Terhadap pertanyaan potensi kekerasan antarpendukung capres/cawapres pada 2023, penilaian tertinggi responden yang meyakini potensi itu akan muncul sebesar 31,50 persen.

"Responden juga meyakini bahwa separatis Papua masih tetap eksis pada 2023. Mereka yang yakin itu tetap akan muncul sebesar 27,90 persen," kata Boni pula.

Keempat, kluster ancaman terorisme dan ideologi. Mayoritas responden meyakini dua ancaman itu berpotensi masih tetap ada.

Bahkan, lanjut dia, responden yang meyakini bahwa akan ada ancaman teroris jelang pergantian tahun 2022 sebesar 34 persen.

Sementara responden yang meyakini bahwa penyebaran ideologi radikal berbasis agama akan meningkat signifikan pada tahun politik 2023 dan jelang 2024 sebesar 28 persen.

Boni menduga semua bentuk ancaman ini diprediksi akan hadir pada saat yang bersamaan.

"Para pembantu presiden ditantang untuk memiliki pemikiran yang strategis, kepemimpinan yang efektif, dan kebijakan yang tepat," ujarnya.

Survei ini dilakukan pada 5 Desember sampai 16 Desember 2022 dengan meminta pandangan kelas intelektual menengah melalui google form, surel, WhatsApp, zoom dan wawancara tatap muka.

Jumlah sampel dalam survei ini sebanyak 900 orang yang terdiri dari para para dosen/pakar, peneliti, anggota LSM/NGO, dan aktivis/seniman. Standar deviasi survei 0,4 dengan margin of error di kisaran 2 persen pada tingkat kepercayaan ± 98 persen.

Teknik sampling yang digunakan pada riset ini adalah cluster sampling di mana analisis dilakukan pada sampel yang tersusun dan diseleksi berdasarkan parameter yang telah ditentukan sebelumnya. Parameter penentu ini dapat berupa demografi, latar belakang, atau atribut lainnya yang dapat menjadi fokus penelitian.
Baca juga: Lemhannas: Tiga tantangan eskalasi politik Indonesia 2023-2024
Baca juga: Kemenperin: Tahun politik 2023 peluang pacu industri makanan-minuman

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022