Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyatakan bahwa pemenuhan gizi bagi calon pengantin 
​​​​dan calon pasangan usia subur (PUS) menjadi salah satu fokus utama dalam pendampingan yang dilakukan Tim Pendamping Keluarga (TPK).
 

“Pencegahan stunting harus dilakukan sejak sebelum menikah. Hal ini dikarenakan tingginya angka anemia dan kurang gizi pada remaja putri sebelum nikah, sehingga pada kehamilan yang terjadi berisiko menghasilkan anak stunting,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam diskusi  Percepatan Penurunan Stunting yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
 

Hasto menuturkan peningkatan pemenuhan gizi menjadi indikator penentu untuk mencegah kekurangan energi kronis dan anemia baik pada calon pengantin maupun PUS, yang dapat memperlebar potensi lahirnya bayi stunting.
 

Dalam data BKKBN yang dimilikinya, jumlah remaja putri usia 15-19 tahun dengan kondisi berisiko kurang energi kronik ada sebesar 36,3 persen, wanita usia subur (WUS) yang berusia 15-49 tahun dengan risiko kurang energi kronik masih 33,5 persen dan perempuan dengan anemia sebesar 37,1 persen.

 

Oleh karenanya, sesuai dengan amanat yang dituangkan ke dalam Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 terkait penyelenggaraan percepatan penurunan stunting, pemenuhan gizi yang digencarkan pemerintah saat ini difokuskan pada remaja, calon pengantin atau calon pasangan usia subur, ibu hamil, ibu menyusui dan anak berusia 0–59 bulan.

Baca juga: BKKBN minta mahasiswa ajak masyarakat bebas nikah dini dan anemia

Baca juga: BKKBN: Penanganan stunting dorong masyarakat ubah perilaku lebih baik

 

Menurut dia, cukup atau kurangnya gizi terutama pada pihak perempuan dapat diketahui setelah melakukan pemeriksaan kesehatan yang kini oleh pemerintah, diwajibkan untuk diikuti selama tiga bulan bersamaan dengan pemberian bimbingan perkawinan dengan materi pencegahan stunting.
 

Selain memeriksakan status gizinya, calon ibu juga mendapatkan konseling dan pemeriksaan terkait tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan kadar Hb yang dilakukan mulai tiga bulan sebelum menikah untuk memastikan setiap calon pengantin berada dalam kondisi ideal untuk menikah dan hamil.
 

“Harapannya faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada calon pengantin atau calon PUS dapat teridentifikasi dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil,” ujarnya.
 

Mengingat krusialnya pemantauan gizi dan kesehatan sejak anak belum dilahirkan, Hasto meminta semua pihak untuk bekerja sama menurunkan angka prevalensi stunting secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi dari tingkat pusat sampai dengan desa.
 

Termasuk adanya keterlibatan dan pemberdayaan para tokoh dan penyuluh agama untuk menyebarkan niat baik pencegahan serta penanggulangan stunting dalam setiap ceramah. BKKBN sendiri sudah bekerja sama dengan Direktorat Bina KUA Kementerian Agama telah menyusun materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) audio visual sebagai bahan pembelajaran bagi para penyuluh agama dalam melaksanakan KIE stunting.
 

“Sinergi ini harus dapat diimplentasikan sampai ke lini lapangan, praktiknya harus terlaksana dengan baik,” katanya.

Baca juga: BKKBN minta calon pengantin perlu konsumsi daun kelor kaya kalsium

Baca juga: BKKBN: TPK kawal kesehatan calon pengantin lewat Aplikasi Elsimil

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022