Jakarta (ANTARA News) - Rasio penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat mencapai 17 hingga 20 persen, kata pengamat ekonomi dan kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy.

"Selama tidak terjadi kebocoran (pajak) mestinya lebih dari 14 persen, sepanjang para pembayar pajak jujur," kata Ichsanuddin menanggapi kebijakan perpajakan akhir-akhir ini.

Menjawab pandangan umum fraksi-fraksi DPR RI terhadap RAPBN 2013 dan nota keuangan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyebut sejumlah langkah untuk mengoptimalkan pungutan pajak, yaitu pembenahan pelayanan dan administrasi, peningkatan dan perluasan basis pajak, penyusunan data pajak yang terintegrasi, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan pengawasan pungutan pajak.

Pada 2013, Kementerian Keuangan merencanakan rasio pajak 12,7 persen atau naik 0,8 persen dari rencana rasio pajak 2012 sebesar 11,9 persen, sedangkan rasio pajak 2011 adalah 11,8 persen dan 2010 sebesar 11,3 persen.

Ichsanuddin mengapresiasi kenaikan rasio pajak yang disampaikan oleh pemerintah tersebut, namun demikian dia mengingatkan bahwa permasalahan utama kebijakan pajak dalam RAPBN 2013 yang ditetapkan pemerintah adalah pada penggunaan uang pajak dari masyarakat.

"Persoalan pokoknya bukan target (pajak) itu tercapai atau tidak. Tapi, persoalan utamanya adalah rakyat melihat uang pajak yang mereka bayar (dipakai) untuk apa?" katanya.

Selanjutnya, pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia itu mengingatkan masyarakat untuk memegang prinsip "Apa yang saya bayar, apa yang saya dapatkan" mengacu pada setiap pungutan pajak yang ditarik dari masyarakat. Dengan ungkapan ini, masyarakat yang belum membayar pajak dapat diingatkan bahwa mereka sudah menikmati fasilitas dari Negara, sehingga diharapkan dapat berubah dan menjadi Wajib Pajak yang patuh.

Supaya penggunaan uang pajak tepat sasaran, Ichsanuddin menyarankan agar pemerintah senantiasa berusaha untuk meningkatkan komponen belanja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, khususnya belanja modal.

Hal ini ditempuh melalui kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja negara, berupa efisiensi dan ketepatan alokasi belanja serta perhitungan pengaruh terhadap perekonomian nasional.

Terkait rencana Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp2 juta per bulan, Ichsanuddin menyambut baik hal tersebut, namun mengingatkan kebijakan ini jangan hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa mengacu struktur pertumbuhan seperti usaha menurunkan angka pengangguran ataupun beban utang.

"Ketika kita bicara usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pendekatan tidak dapat dilakukan sekadar dengan padat modal karena UMKM bermain dalam padat karya," kata mantan Anggota Komisi VIII DPR RI itu menyinggung rencana penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku UMKM dengan omzet Rp300 juta hingga Rp4,8 miliar.

Terkait reformasi pajak, mantan Komisaris PT Pelindo II itu menyarankan agar reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak dan reformasi perpajakan di Indonesia dapat menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan tidak melahirkan ketimpangan sosial.

Narasumber: Ichsanuddin Noorsy, Pengamat ekonomi dan Anggota Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012