Jakarta (ANTARA News) - Meski Kejaksaan telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap mantan Presiden Soeharto dalam perkara korupsi tujuh yayasan, mantan penguasa Orde Baru itu masih bisa digugat secara perdata. Guru besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali, di Jakarta, Sabtu, mengatakan meski kasus pidana Soeharto terhenti, bukan berarti Jaksa Agung tidak dapat menggugat secara perdata. "Hal itu pernah direncanakan oleh Almarhum Baharuddin Lopa. Sebagai penasehat khusus Jaksa Agung saat itu, saya juga terlibat memberi masukan dalam menyusun gugatan perdata terhadap Pak Harto," katanya. Dasar gugatan perdata itu, lanjut Ahmad, adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Meskipun Soeharto menderita sakit permanen, Ahmad mengatakan, mantan Presiden selama 32 tahun itu masih bisa digugat secara perdata karena Soeharto sebagai tergugat tidak perlu hadir sendiri di persidangan. "Dia bisa diwakili oleh kuasa hukumnya. Dan berbeda dengan proses pidana, dalam perkara perdata jawaban bisa tertulis," ujarnya. Pada Jumat, 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengumumkan kejaksaan telah mengeluarkan SKPP terhadap proses hukum Soeharto dalam perkara korupsi tujuh yayasan berdasarkan pasal 140 ayat dua huruf a KUHAP, bahwa perkara dapat ditutup dengan alasan demi hukum. Alasan demi hukum yang digunakan kejaksaan adalah karena kesehatan Soeharto yang mengalami sakit permanen. Namun, sesuai ketentuan pasal 140 ayat dua huruf d, perkara tersebut dapat dibuka kembali jika ditemukan alasan baru seperti apabila kesehatannya sudah pulih kembali. Ahmad Ali berpendapat cara penghentian tuntutan berdasarkan pasal 140 KUHAP itu memang lebih tepat dibanding menggunakan kewenangan deponir yang dimiliki oleh kejaksaan karena deponir harus berdasarkan kepentingan umum. "Untuk sementara, cara yang ditempuh Jaksa Agung untuk menghentikan tuntutan dapat dibenarkan. Tetapi sesuai ketentuan pasal 140 KUHAP ayat dua huruf d, kasus Pak Harto masih dapat dibuka kembali," ujarnya. Menurut dia, penghentian tuntutan atas sakit permanen yang diderita Soeharto hingga demi hukum tidak bisa mengikuti persidangan memang lebih tepat dibanding karena alasan Soeharto telah berjasa. Alasan Soeharto orang yang berjasa, lanjut Ahmad, secara hukum bukan alasan untuk membebaskan seorang terdakwa. Tetapi, hanya alasan meringankan yang bukan wewenang Jaksa Agung, melainkan wewenang majelis hakim dalam pertimbangan untuk menjatuhkan vonis terhadap terdakwa di persidangan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006