Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sedang membahas perubahan aturan pengajuan petisi antidumping yang diperkirakan akan selesai dalam 2006 ini.
     
"Soal inisiasi (ajuan awal), persyaratan petisinya dipersulit. Negara berkembang akan makin sulit mengajukan petisi," kata Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Ridwan Kurnaen, di Jakarta, Senin.
     
Beberapa perubahan yang diajukan oleh negara-negara maju antara lain batasan pengajuan petisi yang tadinya dapat diajukan oleh produsen yang mewakili 25 persen produksi dalam negeri ditingkatkan menjadi 50 persen.
     
"Selain itu, sebelum inisiasi, harus disampaikan dulu kepada eksportir tertuduh. Itu jadi bertele-tele, selama ini tidak perlu," kata Ridwan.
     
Usulan perubahan lainnya adalah persentase margin dumping (selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang dumping) yang tadinya dua persen ditingkatkan menjadi lima persen.
     
"AS juga mengusulkan untuk barang-barang yang mudah rusak seperti sayuran, petisi hanya berdasarkan musim. Kita di Indonesia kan susah, mengecek musimnya saja susah," ujar  dia.
     
Proses penyelidikan yang tadinya bisa diperpanjang hingga 18 bulan, diusulkan hanya 12 bulan saja. Selain itu, juga diusulkan untuk dibentuknya tim ahli yang menilai hasil pengelidikan antidumping oleh suatu negara.
     
"Alasan mereka untuk perubahan itu adalah untuk transparansi, keadilan, ketepatan, kebenaran, dan kelengkapan data," paparnya.
     
Ridwan menilai prosedur baru itu jika disetujui akan semakin membuat rumit dan ongkos yang harus ditanggung negara berkembang lebih besar karena beban pengiriman utusan untuk menjelaskan hasil penyelidikannya kepada pihak terkait dan tim ahli.
     
"Sayangnya, negara berkembang belum satu suara untuk menolaknya," ujar dia.
     
Untuk menghadapi aturan baru perdagangan internasional itu, menurut Ridwan, harus dipersiapkan mulai dari institusinya dan dibuatkan undang-undang sendiri.
     
"Sebelumnya, antidumping hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah sedangkan negara lain sudah berdasarkan undang-undang. Kalau safeguard payung hukumnya kita hanya Kepres," kata Ridwan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006