penggunaan rokok elektronik juga harus diatur lebih ketat
Jakarta (ANTARA) - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menilai pemerintah perlu menaikkan harga rokok lebih tinggi lagi guna mencegah terjadinya smoking relapse atau kekambuhan untuk berperilaku merokok kembali pada anak.

“Kenaikan harga pada pembelian rokok per bungkus, menjadikan perilaku smoking relapse pada anak menurun lebih tajam dibandingkan pembelian rokok secara ketengan,” kata Peneliti Tim Riset PKJS UI Muhammad Abdul Rohman dalam Webinar Diseminasi Smoking Relapse yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Abdul menuturkan pembelian rokok per bungkus memiliki dampak yang lebih besar, dalam mencegah smoking relapse pada anak dibandingkan pembelian rokok batangan atau ketengan.

Oleh karenanya, PKJS UI menyarankan pemerintah agar menaikkan harga rokok yang lebih tinggi lagi di tahun selanjutnya, dan disertai simplifikasi tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk mencegah smoking relapse pada anak dan mencapai target prevalensi perokok anak.

Kemudian, pemerintah disarankan untuk melarang penjualan rokok secara ketengan, yang biasa mudah dibeli anak di warung-warung yang berada dekat sekolah.

Baca juga: PPP minta pemerintah lakukan kajian sebelum naikkan cukai rokok
Baca juga: Pusat kajian UI: lebih dari 50 persen anak alami kekambuhan merokok

Abdul menyoroti meski masih menjadi tantangan besar pemerintah, namun berbagai bentuk iklan, promosi dan sponsorship rokok di berbagai media harus dilarang secara total sebagai bentuk konsistensi mendukung anak berperilaku merokok.

Hal lain yang pihaknya sarankan adalah kepada sekolah, diharapkan bisa memberikan pengawasan dan sanksi yang tegas pada siswa yang tertangkap sedang merokok di sekitar area sekolah.

“Tidak hanya iklan, penggunaan rokok elektronik juga harus diatur lebih ketat dari sisi kebijakan harga maupun non-harga,” katanya.

Perencana Ahli Madya sekaligus Koordinator Kesehatan Masyarakat Bappenas Renova Glorya Montesori Siahaan menanggapi bahwa tantangan untuk menurunkan prevalensi perokok anak tidak mudah.

Sebab, anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan selain akses dan harga rokok. Meski banyak kajian yang sudah mendukung bahwa faktor harga secara strategis menurunkan prevalensi perokok anak.

“Faktor lain yang perlu diperdalam selanjutnya yaitu mengatasi faktor kecanduan, misalnya akses upaya berhenti merokok. Selain itu, pengendalian pada tingkat keluarga juga perlu menjadi perhatian bersama,” katanya.

Baca juga: Pakar: Naiknya CHT tak beri banyak pada kebiasaan merokok
Baca juga: Akademisi soroti dinamika rokok murah karena selisih harga

Sementara Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Sarno menambahkan pihaknya tetap konsisten dalam menyikapi isu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Penyesuaian tarif CHT, Harga Jual Eceran (HJE), dan simplifikasi layer CHT dibentuk agar harga rokok semakin tidak terjangkau. Melalui estimasi dampak dari usulan kebijakan CHT tahun 2023 dan 2024, diperkirakan prevalensi merokok anak turun menjadi 8,92 persen di 2023 dan 8,79 persen di 2024.

Selain itu, Kementerian Keuangan juga memperkirakan indeks kemahalan rokok naik menjadi 12,46 persen di 2023 dan 12,35 persen di 2024.

“Sementara tentang pelarangan penjualan rokok ketengan, termasuk pengaturan yang diusulkan oleh kami masuk dalam rancangan Peraturan Presiden mengenai peta jalan pengelolaan produksi hasil tembakau,” kata Sarno.

Baca juga: Kemenkes sebut harga rokok masih terlalu murah
Baca juga: Akrindo: Kenaikan cukai rokok berdampak pada sektor ritel dan UKM

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023