Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan data yang disusun ke dalam Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022 mewakili kondisi terjadinya stunting pada anak di Indonesia secara rinci.

“Diketahui SSGI adalah survei yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, dengan metode survei dan dilakukan agar bisa menunjukkan hasil yang representatif atau mewakili kondisi di Indonesia,” kata Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes Syarifah Liza Munira dalam Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting tahun 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Syarifah menuturkan SSGI 2022 tidak hanya memuat data terkait dengan stunting, tetapi juga kondisi balita yang mengalami wasting (berat berdasarkan tinggi badannya di bawah rata-rata), underweight (berat badan kurang) hingga overweight (kelebihan berat badan).

Dalam SSGI terdapat determinannya yang meliputi indikator intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif dengan menggunakan metode two stage stratified sampling secara potong lintang (cross-sectional).

Baca juga: Menkes pastikan SSGI untuk stunting diperbarui tiap tahun secara rutin

Untuk pendataan pada tahun 2022, jumlah sampel yang digunakan SSGI adalah 334.848 bayi dan balita. Pengumpulan data dilakukan di 486 kabupaten/kota di 33 provinsi Indonesia.

Pengumpulan datanya pun melalui pengukuran antropometri yang meliputi berat badan, panjang badan, tinggi badan balita, lingkar lengan atas remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Dengan menggunakan alat terstandar dan wawancara.

Syarifah menyebutkan dalam SSGI 2022, diketahui bahwa angka prevalensi stunting turun dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Hal yang sama juga terjadi pada kategori overweight yang sebelumnya 3,8 persen pada tahun 2021, turun menjadi 3,5 pada tahun 2022.

Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah angka underweight yang meningkat dari 17 persen pada tahun 2021 menjadi 17,1 persen pada tahun 2022 dan wasting kini menjadi 7,7 persen setelah sebelumnya hanya 7,1 persen.

“Jadi, tren balita stunting kita memang menurun, namun perlu percepatan untuk bisa mencapai target 14 persen pada tahun 2024,” katanya.

Baca juga: Menkes sebut sunting berkolerasi erat dengan infeksi berulang

Syarifah mengatakan supaya target nasional tercapai, Kemenkes yang memegang 30 persen dalam penanganan intervensi spesifik sudah memiliki 11 program di mana semuanya difokuskan pada masa sebelum bayi dilahirkan dan anak usia 6-24 bulan.

“Mohon diingat, pencegahan stunting jauh lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan stunting,” kata dia.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengatakan ketika memasuki fase sebelum bayi lahir atau ketika ibu hamil, intervensi dilakukan pada remaja putri yang duduk di kelas 7 dan 10 untuk diberikan tablet tambah darah (TTD) guna mencegah terjadinya anemia.

Puskesmas juga diminta secara rutin mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah remaja putri supaya mendapat data konkret terkait remaja yang anemia.

Pada ibu hamil, Budi memastikan intervensi yang diberikan berupa pemberian TTD dan pemberian asupan gizi yang cukup terutama protein hewani, serta pemeriksaan kehamilan melalui Antenatal Care (ANC) dilakukan sebanyak enam kali dan dua kali dengan USG.

Baca juga: Menkes: Stunting banyak ditemukan pada anak usia 6 hingga 24 bulan

Sementara untuk bayi yang berusia 6-24 bulan, jenis intervensi yang diberikan melalui pemberian vaksin PCV dan rotavirus yang bisa melindungi bayi dari infeksi berulang.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023