Jakarta (ANTARA News) - Jurubicara (Jubir) Kepresidenan, Andi Mallarangeng, bersedia menerima 20 wakil pengunjuk rasa, termasuk aktivis KontraS dan perwakilan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang menolak penghentian pengadilan atas mantan presiden Soeharto. "Saya akan menerima mereka di dalam kompleks Istana Merdeka," kata Andi ketika dihubungi ANTARA News di Jakarta, Kamis siang. Menurut aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang juga koordinator umum aksi, Silly Nursahid, ke-20 wakil demonstran sudah memasuki kompleks Istana Merdeka untuk menunggu kedatangan Andi Mallarangeng. Di antara mereka adalah perwakilan keluarga korban insiden Trisakti 1998, Semanggi I 1998, Semanggi II 1999, Talangsari, dan Tanjung Priok, katanya. Dua tuntutan utama yang disampaikan kepada jurubicara kepresidenan itu adalah penolakan atas penghentian pengadilan kasus dugaan korupsi Soeharto dan tuntutan atas penyelesaian berbagai kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu, kata Silly. Sebelum melakukan aksinya di depan Istana Merdeka, sejumlah aktivis KontraS bersama puluhan elemen mahasiswa dan perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM juga berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR-RI. Namun, tak seorang anggota Komisi III DPR-RI yang bersedia menerima para wakil pengunjuk rasa itu. Silly mengatakan demonstrasi untuk memperingati sewindu Gerakan Reformasi 1998 itu dimaksudkan untuk mengingatkan berbagai pihak terkait agar tidak mengabaikan pengadilan atas Soeharto dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di antara kasus pelanggaran HAM yang perlu segera dituntaskan adalah kasus Trisakti 1998, Semanggi I 1998, Semanggi II 1999, Talangsari, Tanjung Priok, penculikan aktivis 1998, dan Papua, katanya. Dalam aksi demonstrasi itu, beberapa perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM Tanjung Priok dan Talangsari, serta aktivis mahasiswa asal Jakarta, Bandung, dan Cirebon yang tergabung dalam Jaringan Peduli Kemanusiaan ikut. Kegiatan refleksi Terkait dengan kegiatan refleksi sewindu Gerakan Reformasi 1998, Kabid Operasional KontraS, Indria Fernida, SH, mengatakan pihaknya juga menyampaikan tuntutan dan menyerahkan 3.000 kartu pos dari masyarakat dan mahasiswa Bandung, Cirebon, dan Jakarta kepada pimpinan DPR dan Presiden RI. Kartu pos itu berisi perihal penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, khususnya Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, katanya. Selain aksi, peringatan sewindu Gerakan Reformasi itu juga diisi dengan pembacaan resolusi korban pelanggaran berat HAM untuk mengadili Soeharto, diskusi bersama Fadjroel Rahman (aktivis), Hendardi (Dewan Penasehat PBHI), dan Mugiyanto (korban penculikan aktivis 1997-1998, dan pagelaran musik serta theater di kantor Kontras, Jalan Borobudur 14 Menteng, Jakarta. Gerakan Reformasi Mei 1998 yang ditandai dengan gerakan massa mahasiswa, pemuda, dan tokoh nasional, seperti HM Amien Rais, berhasil memaksa Soeharto turun. Posisinya sebagai kepala negara dan pemerintahan kemudian diserahkan ke BJ Habibie yang ketika itu wakil presiden RI. Tuntutan berbagai elemen masyarakat agar Soeharto diadili dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola dirinya selama berkuasa terus bergulir kendati ia sudah berulang kali sakit dan Kejaksaan Agung telah mengeluarkan SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan) pada 12 Mei 2006. Kasus dugaan korupsi mantan orang kuat rezim Orde Baru itu mulai terkuak pada 1 September 1998 ketika Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dari anggaran dasar lembaga tersebut. Pada 7 Desember 1998, di depan Komisi I DPR, jaksa agung (saat itu) mengungkapkan hasil pemeriksaan atas Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa agung saat itu juga mengungkapkan penemuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp24 miliar, Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana. Pada 28 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan SKPP yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. Sesuai pasal 140 ayat 2 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa yang dalam keadaan tidak sehat maka tidak bisa diajukan ke persidangan. Dengan terbitnya SKPP itu, status proses hukum Soeharto dinyatakan final dan penguasa Orde Baru itu bebas dari status "terdakwa"; kecuali bila ditemukan alasan berupa kesembuhan penyakit Soeharto barulah dia dapat diajukan ke persidangan lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2006