Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Masyarakat Adili HM Soeharto (GEMAS), yang terdiri atas beberapa tokoh nasional yang menolak penghentian proses hukum Presiden RI periode 1966-1998, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih kasus tersebut. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, yang tergabung dalam GEMAS seusai bertemu dengan Pimpinan KPK di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa KPK memiliki alasan untuk mengambilalih kasus hukum Soeharto sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Ia menjelaskan, alasan pengambilalihan itu telah memenuhi empat dari enam alasan, seperti yang diatur dalam pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, diantaranya lantaran laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, dan proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. "Penanganan kasus hukum Soeharto oleh kejaksaan dimulai sejak 1998, namun berlarut sehingga akhirnya dihentikan proses penuntutannya oleh kejaksaan. Alasan kemanusiaan dan kesehatan seringkali menjadi alasan," tutur Teten. Mestinya, ia menambahkan, proses hukum jangan dicampuradukkan dengan rasa kemanusiaan atau balas jasa, karena untuk memaafkan ada mekanismenya tersendiri berupa amnesti atau rehabilitasi. "Kalau mau ngomong balas jasa, apa bedanya Soeharto dengan Gubernur Daendels yang juga telah membangun jalan raya Anyer-Panarukan?," ujarnya. Alasan lain yang memungkinkan untuk KPK mengambil alih kasus Soeharto sesuai dengan UU KPK, menurut Teten, adalah penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku yang sesungguhnya. "Dengan dihentikannya proses hukum kasus Soeharto, maka membuka peluang bagi dihentikannya proses hukum yang melibatkan kroni-kroni Soeharto," katanya. Para kroni itu, lanjut dia, bisa saja berdalih bahwa penyimpangan atau korupsi yang dilakukan merupakan perintah dari Soeharto atau perintah jabatan. Selain itu, Teten berpendapat, hambatan penanganan tindak pidana korupsi kasus Soeharto dan kemudian dihentikan karena adanya campur tangan dari eksekutif. "Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan KPK menjadi institusi yang tepat untuk menangani kasus Soeharto, diantaranya karena KPK tidak mengenal penghentian penyidikan apabila kasus korupsi yang ditanganinya sudah masuk tahap penyidikan," katanya. Selain itu, penanganan kasus di KPK hingga pengadilan di pengadilan khusus tindak pidana korupsi, lanjut Teten, juga masih bisa dipercaya. Ia juga mengingatkan, KPK untuk tidak terjebak hanya dalam penanganan kasus korupsi tujuh yayasan, karena perbuatan koruptif di era Orde Baru juga meliputi penyalahgunaan kekuasaan Soeharto dalam bentuk kebijakan, sehingga menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. "Kalau hanya untuk kasus tujuh yayasan, maka sama saja dengan mengadili seorang ketua yayasan biasa. Padahal, sebagai Presiden, Soeharto mengeluarkan berbagai kebijakan yang menimbulkan korupsi di BUMN, dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha saja," ujarnya. Ia juga menyarankan, KPK dapat menempuh jalan memutar dalam mengusut kasus korupsi Soeharto, misalnya dengan memeriksa keluarganya atau kroninya terlebih dahulu untuk kemudian menemukan kunci kesalahan Soeharto. Teten didampingi oleh anggota ICW lainnya dan tokoh lain, seperti Fadjroel Rachman dan Asmara Nababan. Mereka diterima oleh Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean. Menurut Teten, Tumpak menyambut baik pendapat mereka. Namun, KPK belum bisa mengambil sikap tentang desakan pengambilalihan kasus Soeharto itu, dan akan membicarakannya terlebih dahulu dalam rapat pimpinan KPK. (*) (Foto: HM Soeharto)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006