"Saya tidak mengatakan bahwa Pak Harto harus dihukum, harus dipidana atau harus dibebaskan. Tidak. Tapi apapun keputusan pengadilan saya hargai, tapi semua harus melalui proses hukum," katanya.
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki menyatakan, pihaknya tidak akan mengambil alih kasus Soeharto karena kasus mantan presiden RI itu saat ini tidak berada dalam proses penyidikan atau penuntutan. "Yang boleh diambil alih itu pada proses penyidikan dan proses penuntutan. Sekarang itu sudah pada proses pemeriksaan di pengadilan, apa boleh diambil alih. Tidak boleh dong," kata Ruki menjawab wartawan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, usai menghadiri pelantikan Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ruki menegaskan KPK tidak mau terjebak untuk dalam kasus Soeharto mengambil posisi yang di luar undang-undang. "Kita sendiri bukan di atas undang-undang. Kami, KPK, juga tidak boleh keluar dari UU. Undang-undang mengatakan yang boleh diambil alih itu pada proses penyidikan atau penuntutan," ujarnya. Karena itu, ujar Ruki, sejak semula ia telah mengatakan bahwa penyelesaian kasus Soeharto harus dilakukan melalui proses hukum. "Ingat, ya, melalui proses hukum. Artinya segala keputusan yang diambil harus berdasarkan keputusan hukum dan pengadilan, jangan berdasarkan kebijakan atau pertimbangan-pertimbangan politis," tegasnya. "Saya tidak mengatakan bahwa Pak Harto harus dihukum, harus dipidana atau harus dibebaskan. Tidak. Tapi, apapun keputusan pengadilan saya hargai, tapi semua harus melalui proses hukum," tambahnya. Penolakan Taufiequrachman Ruki itu diungkapkannya di tengah desakan sebagian kalangan masyarakat, termasuk Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS), agar KPK segera mengambilalih kasus tersebut. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki yang tergabung dalam GEMAS seusai bertemu dengan pimpinan KPK di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Kamis, mengatakan KPK memiliki alasan untuk mengambilalih kasus hukum Soeharto sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Ia menjelaskan, alasan pengambilalihan itu telah memenuhi empat dari enam alasan seperti yang diatur dalam pasal 9 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, di antaranya karena laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti dan proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006