Jakarta (ANTARA News) - Nota kesepahaman atau MoU mengenai tata cara perekrutan dan penempatan buruh migran Indonesia di Malaysia yang ditandatangani pemerintah kedua negara di Bali, 13 Mei 2006, dinilai melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Pernyataan dikemukakan oleh Direktur Tenaganita Malaysia --LSM yang peduli buruh migran-- Irene Fernandez kepada wartawan di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis. "Dalam salah satu kewajiban buruh migran, ada artikel yang menyebutkan bahwa ijin kerja dapat dibatalkan oleh Pemerintah Malaysia jika buruh migran melangsungkan pernikahan di tengah-tengah masa kerja. Artikel itu adalah salah satu wujud kekerasan yang dicantumkan dalam CEDAW yang telah diratifikasi oleh Malaysia," kata aktivis dari negeri Jiran itu. Standar kontrak yang diatur dalam MoU itu, kata Irene, juga merupakan kontrak mengikat sehingga buruh migran tidak akan dapat meninggalkan majikannya sekalipun majikannya melakukan tindak kekerasan. "Pada salah satu artikelnya disebutkan jika seorang pekerja meninggalkan majikannya maka dia bertanggungjawab sepenuhnya atas biaya kepulangannya. Namun, sebaliknya majikan memiliki wewenang penuh untuk memberhentikan pekerjanya tanpa pemberitauan," ujarnya. Lebih lanjut dia mengatakan, ada baiknya jika MoU menyebut buruh migran sebagai pekerja domestik bukannya pelayan domestik (domestic servant) karena definisi itu menutup peluang buruh migran untuk diakui statusnya sebagai pekerja. "Pelayan akan identik sebagai hamba yang tidak punya hak," katanya. Menurut dia, tanpa dasar-dasar untuk mengakomodasi HAM maka MoU itu hanya akan melanggengkan sejumlah penyelewengan yang terjadi selama ini. "Tidak ada standar upah minimum atau hari libur. Kemudian penggunaan istilah fasilitas yang masuk akal (reasonable) atau waktu istirahat secukupnya, juga sangat bias. Apa yang dimaksud masuk akal atau secukupnya, delapan jam istirahat, delapan jam tidur cukup atau satu hari libur tiap pekannya. Bagaimana jika ada majikan yang beranggapan tidur kurang dari tujuh jam sendiri sudah cukup," katanya. Pemerintah Indonesia, kata dia, sekali lagi gagal menunjukkan usahanya untuk melindungi pekerja migrannya. "Kedua pemerintahan hanya memandang buruh migran sebagai komoditas perdagangan dengan kepentingan untuk menghasilkan uang melalui rekruitmen, transportasi, dan penempatan. Dan selama perempuan tidak dihargai sebagai manusia dengan hak asasi dan martabat, sebagaimana mahluk sosial yang perlu ruang, waktu dan upah yang layak maka MoU itu hanya akan melegalkan perdagangan perempuan dan anak," katanya. Irene kemudian mengungkapkan keinginannya untuk membawa isu tersebut ke sejumlah pertemuan dengan pihak-pihak terkait seperti CEDAW, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan sejumlah pemerhati masalah perdagangan perempuan dan anak. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dan Menteri Dalam Negeri Malaysia Radji Sheikh Ahmad menandatangani MoU mengenai perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) Indonesia di Malaysia usai KTT D8 di Bali baru-baru ini. Acara yang disaksikan langsung oleh kepala pemerintahan masing-masing, yaitu Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Badawi, merupakan nota kesepahaman yang sudah dibicarakan sejak pertemuan pemimpin kedua negara itu di Bukittinggi pada Januari 2006. Dijelaskan oleh Erman, nota kesepahaman itu merupakan inisiatif Indonesia dalam memberikan perlindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia, khusunya pembantu rumah tangga asal Indonesia di Malaysia. "MOU ini memberikan keuntungan yang besar kepada kita karena selama ini pembantu rumah tangga asal Indonesia di Malaysia belum ada perlindungannya. Kesepamahan ini merupakan payung hukum untuk peraturan yang akan segera kita susun," kata Erman. Ia menambahkan, beberapa elemen utama yang disepakati antara lain kewajiban membuat kontrak kerja antara majikan di Malaysia dan pembantu rumah tangga asal Indonesia yang memuat hak dan kewajiban yang jelas termasuk besarnya jumlah gaji yang format serta isinya harus mengikuti model kontrak yang ditetapkan dalam MOU. Selain itu juga dicantumkan mengenai larangan bagi majikan maupun pengerah tenaga kerja ke Malaysia untuk melakukan pemotongan gaji PRT. Dengan ditandatanganinya kesepakatan itu maka Indonesia dan Malaysia memiliki dua instrumen yang mengatur perlindungan TKI di Malaysia yaitu terkait TKI sektor formal yang nota kesepahamannya sudah ditandatangani pada Mei 2004 dan mengenai TKI sektor informal.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006