Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan pentingnya pendidikan karakter bangsa mengingat arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang ikut serta mengakibatkan terjadinya degradasi moral.

"Teknologi informasi turut memiliki andil terjadinya degradasi moral. Ini bukan saja menjadi kekhawatiran tokoh masyarakat atau generasi tua tetapi juga generasi muda," kata Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Hal tersebut disampaikan Ketua MPR RI dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) secara virtual di Jakarta.

Para generasi muda, kata Bamsoet, menjadikan isu-isu terkait moralitas sebagai perhatian utama yang perlu disikapi serius.

Hasil survei Good News from Indonesia (GNFI) bersama Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada Juli 2022 diketahui tiga dari empat isu utama yang menjadi perhatian mayoritas generasi muda adalah isu-isu yang berkaitan dengan persoalan moralitas.

"Hasilnya, pelecehan seksual 13,7 persen, penyebaran berita hoaks 9,5 persen, dan degradasi moral serta ideologi 8,4 persen," katanya.

Ketua DPR RI Ke-20 sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan itu menjelaskan degradasi moral adalah sebagian dari sekian banyak persoalan yang akan dihadapi seiring laju perkembangan zaman.

Berbagai persoalan kebangsaan itu terjadi akibat masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama secara komprehensif. Ajaran agama dimaknai secara sempit, tergerusnya sikap toleransi, berkembangnya paham ekstremis bahkan munculnya sikap dan perilaku yang menegasikan Pancasila sebagai dasar negara.

Merujuk pada fakta sejarah ketika pendidikan Pancasila dihapuskan dari mata pelajaran pokok dalam dunia pendidikan, dan pemaknaan Pancasila diserahkan pada mekanisme "pasar bebas" telah menyebabkan absennya negara dalam pembinaan mental ideologi bangsa, papar dia.

Baca juga: Bamsoet: Sosialisasi Empat Pilar MPR jaga kerukunan umat beragama
Baca juga: Ketua MPR: Butuh konsensus bersama untuk hadapi tantangan kebangsaan


Tercermin pada publikasi berbagai hasil survei yang dilakukan pada tahun 2018 di mana 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain, tiga persen anggota TNI terpapar paham ekstremis, 19,4 persen PNS atau ASN tidak setuju Pancasila, dan tujuh kampus terindikasi terpapar ekstremisme agama.

"Gambaran di atas semakin menegaskan pentingnya pendidikan karakter bangsa yang dilakukan secara intens, masif, dan berkesinambungan," ujarnya.

Pandangan tersebut yang mendorong MPR senantiasa berupaya untuk menanamkan pendidikan karakter bangsa dan wawasan kebangsaan kepada segenap lapisan masyarakat, khususnya melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, jelas Bamsoet.

Pada kesempatan itu, ia turut mengapresiasi perjalanan BKMT yang kini memasuki usia ke-42 tahun. Selama 42 tahun berkiprah, BKMT dinilai tetap solid dan sukses membangun syiar keagamaan serta ilmu pengetahuan, termasuk menjadi wadah silaturahim bagi lebih dari 400 kabupaten di seluruh penjuru Nusantara, serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyukseskan berbagai program pembangunan.

Dari aspek regulasi, katanya, keberadaan majelis taklim memiliki rujukan hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional salah satunya mengatur mengenai pendidikan keagamaan. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, majelis taklim secara eksplisit diakui sebagai lembaga pendidikan nonformal.

"Kehadiran majelis taklim mampu mengisi ruang-ruang yang tidak dapat dijangkau oleh pendidikan formal, khususnya pendidikan moralitas," ujar dia.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan lompatan kemajuan teknologi yang menafikan adanya filtrasi arus informasi yang dapat menggerus nilai-nilai luhur dan kearifan lokal, katanya, maka kehadiran majelis taklim sebagai sumber pendidikan keagamaan adalah sebuah hal yang patut disyukuri..

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023