Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai diperlukan konsepsi dan konsensus bersama sebagai sebuah bangsa yang akan menjadi landasan fundamental dalam menjawab berbagai tantangan kebangsaan.

Dia menjelaskan beragam tantangan kebangsaan tersebut digambarkan secara komprehensif dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, antara lain masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama; munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru serta sempit.

"Selain itu kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan serta kemajemukan; kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa serta belum optimalnya penegakan hukum," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Ketua MPR minta Pemerintah evaluasi program deradikalisasi

Hal itu dikatakannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, yang diselenggarakan Generasi Lintas Budaya bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Universitas Nasional, di Jakarta, Kamis.

Menurut Bamsoet, para pendiri bangsa telah mewariskan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegaraan, antara lain yang berkaitan dengan dasar negara, konstitusi negara, bentuk negara, serta wawasan kebangsaan yang selaras dengan karakter keindonesiaan.

"Legasi itu yang kita temukan dalam Empat Pilar MPR RI, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, landasan ideologi, falsafah, etika moral serta alat pemersatu bangsa; Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus yang harus dijunjung tinggi serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat pemersatu bangsa," ujarnya.

Dia menjelaskan, berbagai tantangan kebangsaan yang dinarasikan MPR dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001, masih sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi kebangsaan saat ini.

Bamsoet mencontohkan pemaknaan ajaran agama secara sempit menjadi pintu masuk bagi paham radikal dan aksi terorisme. Dia mengatakan sebagai langkah preventif, sepanjang tahun 2020 hingga Maret 2022, Densus 88 Anti-teror Polri telah menangkap 658 anggota jaringan terorisme.

"Namun aksi terorisme masih saja menemukan celah untuk menjalankan aksinya. Misalnya belum lama ini terjadi aksi bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, Bandung," katanya.

Baca juga: Ketua MPR minta pemerintah miliki strategi cegah kasus korupsi

Menurut dia, penghormatan terhadap kebhinekaan dan kemajemukan juga masih menyisakan "pekerjaan rumah" yang harus diselesaikan bersama.

Dia mengutip jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas bulan November 2022, yaitu masyarakat patut gembira karena mayoritas responden, atau sekitar 72,6 persen menganggap masyarakat Indonesia menjunjung tinggi toleransi.

"Namun di sisi lain, masih ada 47,6 persen responden yang merasa bahwa toleransi dan tenggang rasa dalam kehidupan beragama masih perlu ditingkatkan kembali. Lalu 77,8 persen responden merasa pesimis bahwa toleransi politik akan membaik di tahun politik antara lain dipicu hadirnya isu politik identitas," katanya.

Dia menilai masih kurangnya keteladanan dapat dilihat pada banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara atau kepala daerah, misalnya hingga Maret 2021, tercatat 429 kepala daerah hasil Pilkada terjerat kasus korupsi.

Menurut dia, praktik korupsi tersebut mencerminkan rendahnya keteladanan, selain adanya faktor pemicu seperti mahalnya biaya Pilkada, kurangnya kompetensi pengelolaan keuangan daerah, dan minimnya pemahaman terhadap regulasi.

Baca juga: Wakil ketua MPR ajak PPI terus mengabdi bagi bangsa Indonesia
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Buka ruang diskusi terkait pro-kontra KUHP

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022