Jakarta (ANTARA) - Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan pemerintah tidak bisa mengklaim endemi sebagai suatu keberhasilan dalam menangani pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 lalu.

“Sebenarnya, kalau kita menyatakan endemi bukan kemenangan bahwa kita berhasil mengalahkan COVID-19 atau menjadikan itu tujuan karena endemi kan juga (masih seputar) penyakit dan wabah,” kata Dicky kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Dicky menuturkan hingga saat ini, masih banyak jenis endemi yang berputar disepanjang kehidupan manusia. Misalnya endemi malaria ataupun endemi dengue (demam berdarah), masih ada orang yang masuk ke rumah sakit dan meninggal setiap waktu akibat penyakit-penyakit tersebut.

Berkaitan dengan penanganan COVID-19, ia mengatakan pemerintah tidak bisa selesai setelah pemerintah menyatakan memasuki endemi. Justru seharusnya, endemi diselesaikan secara terkendali dan mencegah munculnya penyakit lain yang akan menjadi wabah selanjutnya di masa depan melalui pendekatan satu sehat, yang memperhatikan keharmonisan antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.

Baca juga: Kemenkes: Status endemi tunggu keputusan WHO dan Presiden

Dalam hal ini, setiap orang di sebuah negara berperan mengendalikan keamanan kesehatan global dengan memilih serta menaati kebijakan yang bisa meminimalisir potensi penularan. Termasuk tidak bersikap egois dengan memikirkan keselamatan dirinya masing-masing.

“Saya selalu ingatkan, apapun keputusan, kebijakan yang diambil itu harus berbasis data dan sains. Harus melihat tatanan global karena apa yang dilakukan satu orang satu kelompok masyarakat itu bisa berdampak secara global,” ujarnya.

Terlebih, Indonesia pernah memimpin Presidensi G20 dunia dan telah diakui. Dirinya berharap setiap strategi yang diambil oleh pemerintah disertai dengan komunikasi risiko yang efektif, guna mengawal masyarakat menerima informasi apapun terkait COVID-19 sampai tuntas.

“Kita harus tahu dunia ini makin rawan dengan adanya perubahan iklim, interkonektivitas manusia yang semakin tinggi, ini membuat potensi wabah berikutnya tinggal tunggu waktu sehingga kita harus cegah kejadiannya jangan begitu cepat baik negara, individu, dan masyarakat yang sebelumnya tidak sehat dan mengabaikan harmonisasi kesehatan,” kata dia.

Baca juga: Kemenkes gandeng EpiC-USAID bimbing Indonesia masuki era endemi

Kemudian terkait dengan dicabutnya status kedaruratan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC), Dicky menambahkan bahwa setiap negara yang tergabung dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) harus menunggu pengumuman terlebih dahulu, karena WHO sedang menilai situasi terkini dari pandemi.

Dalam sidang komite International Health Regulation (IHR) yang digelar per tiga bulan sekali, Dicky bercerita bahwa hasil rapat terakhir pada tanggal 27 Januari 2023 lalu, dia dan para ahli di WHO menilai saat ini kondisi COVID-19 terpecah karena beberapa negara sudah terlihat memasuki endemi dan lainnya epidemik.

Kondisi itu membuat WHO belum bisa mencabut status PHEIC di seluruh dunia. Namun, memang sudah mulai tidak terlihat adanya sub-varian yang membahayakan, protokol kesehatan dan vaksinasi juga terbukti efektif mencegah infeksi penularan, sehingga dunia bisa melewati masa kritisnya.

Baca juga: Indonesia konsultasi ke negara yang berdeklarasi endemi tahun ini

“Kalau PHEIC dicabut otomatis pandeminya juga. Besar kemungkinan memang bicara pandemi COVID-19 akan berakhir, saya kira sebelum akhir tahun juga akan berakhir ya namun untuk diketahui bahwa meskipun kewenangan bicara endemi juga WHO tidak ada bisa bilang begitu tapi tidak terlalu lazim dalam artinya endemi itu dinamis,” katanya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023