Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan skema "power wheeling".

Power wheeling yaitu mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau "Independent Power Producers" (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.


"Kekhawatiran terhadap kondisi hari ini yang kemudian membuat penolakan terhadap penetapan instrumen 'power wheeling' di dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) RUU EBET (Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan) menurut saya tidak beralasan," ujar Fabby dalam webinar pojok energi membahas "Belat Belit RUU EBET" di Jakarta, Senin.


Ia menjelaskan pada awalnya usulan "power wheeling" itu justru dimasukkan di dalam draf RUU EBET yang diusulkan oleh pemerintah, namun kemudian ditolak.


Menurut dia, kondisi "over supply" yang saat ini terjadi bukan kondisi yang akan berlangsung selama-lamanya. Padahal, RUU EBET yang sedang dibahas saat ini punya efek jangka panjang.


"Hari ini kita mengalami kondisi 'over supply' tetapi kondisi 'over supply' ini mungkin akan teratasi tahun 2025 tahun 2026. Padahal RUU yang kita bahas hari ini punya efek jangka panjang akan berlaku jangka panjang paling tidak di atas 10 tahun mungkin bisa sampai 15 tahun," tuturnya.


Selanjutnya, ia juga menganggap bahwa skema "power wheeling" sebenarnya bukan hal yg baru.


Pemanfaatan jaringan bersama tersebut, ucap Fabby, sudah ada terlebih dahulu di Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan kemudian diatur di Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015, UU Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2021.


Jadi, lanjut Fabby, hal itu bukan sesuatu yang baru, di mana pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik.

"Jadi, 'power wheeling' yang dikhususkan untuk mengevakuasi daya dari pembangkit energi terbarukan bukan energi yang lain-lain. Itu juga bisa dilihat sebagai instrumen untuk mendukung energi terbarukan," kaya Fabby.


Lebih lanjut, ia mengatakan skema "power wheeling" juga merupakan konsekuensi dari struktur industri ketenagalistrikan di mana saat ini industri ketenagalistrikan tersebut menggunakan sistem "vertical integrated" di mana PLN menguasai dari pembangkit transmisi sampai ke distribusi.


"Untuk bisa berusaha menjual tenaga listrik itu harus dilakukan oleh pemegang wilayah usaha dan praktis seluruh Indonesia ini pemegang wilayah usahanya adalah PLN. Jadi, kalau orang tidak bisa membangun transmisi listrik sendiri karena dia tidak punya wilayah usaha. Konsekuensinya karena PLN yang boleh bangun jaringannya, boleh dong dimanfaatkan bersama-sama. Ini sama juga dengan 'open access' untuk jaringan gas itu bisa dipakai," ujar Fabby.


Justru, kata dia, PLN nantinya bisa mempunyai sumber pendapatan baru jika membuka skema "power wheeling".


Fabby menyampaikan, hal yang harus diingat yakni memanfaatkan jaringan transmisi tidaklah gratis dan ada tarifnya.

"Di sini justru saya melihat dengan membuka 'power wheeling' maka PLN bisa punya sumber pendapatan baru 'revenue' dari transmisikan listrik," ucapnya. Jadi, kalau ada yang bilang 'oh akan PLN dirugikan'. Menurut saya tidak tepat, justru dalam jangka panjang kalau skema ini jalan dengan baik, PLN bisa dapat penghasilan tambahan dan bahkan punya pemasukan yang bisa dipakai untuk berinvestasi lagi untuk penguatan transmisi listrik," kata Fabby menambahkan.

Baca juga: APLSI: "Power wheeling" berpotensi tarik investasi meski kontroversial
Baca juga: Menteri ESDM pastikan skema "power wheeling" tak masuk RUU EBET

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023