Kuala Lumpur (ANTARA) - “Saya sudah kapok. Saya enggak mau ke mana-mana lagi. Saya mau kerja di Indonesia saja,” kata Astuti (bukan nama sebenarnya), menyesali keputusannya mencoba mengadu nasib di negeri jiran.

Jika bukan karena terdesak utang pinjaman online (pinjol), ia mengaku tidak akan nekad meninggalkan tiga anak-anaknya yang masih kecil di Pekalongan, Jawa Tengah.

Bukan dia yang seharusnya dikejar-kejar penagih utang, karena suaminya lah yang sebenarnya mengajukan pinjol hingga Rp50 juta, yang katanya untuk usaha hingga membiayai hidup sehari-hari mereka setelah diberhentikan sebagai sopir pribadi di Jakarta.

Nahasnya sang suami menggunakan KTP miliknya, sehingga akhirnya Astuti  yang dikejar-kejar dan harus kabur dari si penagih utang. Setiap dua minggu sekali, penagih utang datang mencarinya.

Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Mungkin peribahasa itu bisa menggambarkan kondisi perempuan berusia 35 tahun itu.

Sekitar seminggu ia berada di Ibu Kota Jakarta untuk mencari kerja demi membayar utang. Pada akhirnya ia pun tergiur dengan tawaran kerja di luar negeri yang dilihatnya di laman Facebook seseorang bernama Nurul.

Astuti mengakui diminta memilih salah satu pekerjaan, menjadi pembantu rumah tangga (PRT) atau menjaga anak. Dirinya memilih menjadi pembantu dengan gaji 1.200 ringgit (RM) atau sekitar Rp4,1 juta per bulan.

Ia pun menempuh perjalanan dari Jakarta ke Surabaya untuk bertemu Nurul, dan langsung dibawa ke Kediri, Jawa Timur, menemui seseorang bernama Bu Asun. Sekitar seminggu dirinya ditampung di Kediri, sambil menunggu paspornya rampung, bersama dua orang lainnya dibawa lagi ke Surabaya untuk diterbangkan ke Batam.

Dari sana, menurut Astuti, baru diselundupkan ke Malaysia lewat Johor Bahru dengan berbekal paspor dan dijemput oleh seseorang bernama Puan Jamila. Perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat sekitar empat jam. Dirinya langsung diantar ke rumah majikannya.

Astuti hanya bertahan tiga hari bekerja di rumah majikan pertamanya itu. Selain karena selalu kangen anak-anaknya, dirinya merasa tidak betah di sana karena pekerjaan yang dilakukannya terlalu berat. Tidak hanya membersihkan rumah, menyuci, setrika pakaian, memasak, tapi juga menjaga anak majikannya yang berusia empat dan dua tahun.

Semua itu tidak seperti bayangan awalnya ketika memilih untuk menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia. Awalnya dia hanya mengira hanya akan mendapat tugas membersihkan rumah saja. Ternyata ada juga tugas menjadi baby sitter.

Ia lalu meminta pulang, tetapi tidak diperbolehkan oleh Bu Asun, agennya yang ada di Kediri.


Merasa terjebak

Untuk bisa bekerja di Malaysia, Astuti mengaku memang tidak mengeluarkan uang, semua biaya perjalanan hingga pengurusan paspor sudah ditanggung majikan. Namun, belakangan dirinya merasa terjebak karena saat awal tidak ada perbincangan bahwa harus membayar Rp25 juta jika meminta pulang.

Setelah keluar dari rumah majikan pertama, Astuti ditampung selama lima hari di rumah seseorang bernama Bu Dewi yang menurut dia, berkebangsaan Indonesia sedangkan suaminya warga Malaysia. Intimidasi mulai dirasakannya di sana.

“Takut, takut, takut. Yang di (rumah) Ibu Dewi ini saya dikurung, saya sudah tekanan batin dikurung sendiri. Istrinya itu juga ‘nakut-nakutin’. ‘Suami saya dulunya berandalan loh, bisa jual kamu loh’,” kata Astuti, mengulang perkataan Dewi.

Ketakutannya semakin memuncak mendengar itu semua, membayangkan dirinya bisa dijual dan dijadikan pelacur. Astuti mengaku semakin merasa tidak aman berada di sana, terlebih Dewi menceritakan dirinya sering dianiaya oleh sang suami.

Menurut Astuti, Dewi sempat menunjukkan foto-foto bagian tubuhnya yang lebam setelah dipukuli suaminya itu. Itu membuat Astuti akhirnya mau mengikuti kemauan Bu Asun yang mengirimkannya ke majikan yang kedua di Putrajaya.

“Ya sudah saya ke majikan dulu, cari aman dulu, takut saya dijual,” ujar dia.

Semua pengalaman selama lima hari di tempat Dewi diceritakannya pada majikannya yang kedua. Ia pun mengatakan langsung pada majikannya tersebut bahwa sebetulnya ingin pulang ke Indonesia, tidak ingin bekerja, tetapi agennya memang memaksanya untuk bekerja jika tidak bisa mengembalikan Rp25 juta.

Sejak dari Kediri, Astuti mengaku sebetulnya sudah ragu soal legalitas agen penyalur tenaga kerja yang dihubunginya itu. Beberapa kali dirinya menanyakan soal keberangkatannya ke Malaysia, termasuk mengapa dirinya diseberangkan lewat Johor Bahru, apakah itu memang jalur resminya.

Karena ingin pulang, majikan keduanya sempat akan menelepon agennya, namun Astuti mencegahnya karena mengaku sangat takut kalau harus kembali ke rumah Dewi, dirinya merasa tidak aman di sana.

Di Putrajaya, ia melakukan pekerjaan rumah tangga pada umumnya, tidak ada tambahan tugas menjaga anak atau lainnya. Agen menjanjikan pendapatan RM1.200 per bulan. Namun, untuk tiga bulan pertama semua akan dipotong.

Astuti mengaku keberatan pada majikan keduanya, hingga akhirnya dijanjikan selama enam bulan akan menerima RM750 per bulan. Baru di bulan ketujuh dirinya akan menerima RM1.200 per bulan.

Meminta tolong Presiden

Rasa kangen pada anaknya membuat Astuti memberanikan diri meminta pada majikannya untuk mengizinkannya menggunakan telepon pintarnya melakukan panggilan video ke Pekalongan, tempat di mana ketiga anaknya ditinggalkan bersama suaminya.

Saat itu ia  mulai berpikir mencari pertolongan, salah satunya meminta tolong pada Presiden Joko Widodo melalui akun Instagramnya. Setiap ada unggahan baru di akun Presiden, Astuti menulis pesan meminta pertolongan.

Astuti mengaku juga menulis pesan serupa ke beberapa akun Instagram sejumlah menteri, mulai dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, hingga ke sejumlah artis Indonesia.

Sampai beberapa hari kemudian ia  menerima panggilan video via Instagramnya dari seseorang yang mengaku sebagai salah satu staf di Istana Presiden. Astuti diminta untuk menyebutkan alamatnya saat itu, nama majikan, keterangan pada paspornya, kartu keluarga yang kebetulan ia simpan soft copynya di telepon pintarnya.

“Katanya ngakunya ajudan Pak Jokowi. ‘Saya Sony perkenalkan, saya ajudannya Pak Jokowi. Pak Jokowi baca komen ibu, bukan enggak baca, cuma dia suruh saya bantuin ibu’ …,” kata Astuti, menceritakan kembali percakapannya tersebut.

Sempat ada keraguan apakah benar panggilan telepon tersebut dari Istana Presiden, kata Astuti, karena itu dirinya tidak menyebutkan nomor telepon keluarganya saat diminta.

Keesokan harinya panggilan video datang dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI) dan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur.

Astuti mengatakan majikannya mengantarkan dirinya ke KBRI Kuala Lumpur dan menyerahkan paspornya pada staf kedutaan pada Kamis (23/2). Dengan demikian, total hanya tujuh hari dirinya berada di rumah majikannya di Putrajaya.

Tidak hanya kena marah majikan, Astuti mengaku juga mendapat ancaman dari Bu Asun karena sudah berani melapor. Karena itu, dirinya sempat mengkhawatirkan keselamatan keluarganya di Indonesia.

Jangan izinkan lagi

Berada di negeri orang, seorang diri, dan jauh dari keluarga ternyata menjadi pengalaman yang menakutkan bagi Astuti. Saat ditemui di KBRI Kuala Lumpur, Jumat (24/2), dirinya mengaku masih merasa takut dan ingin segera kembali ke Tanah Air.

Ia mengatakan memang pernah mendengar soal perdagangan manusia atau pekerja migran ilegal. Namun tidak pernah membayangkan dan berharap bahwa dirinya akan mengalami itu semua.

Astuti juga mengaku tidak punya pengetahuan cukup untuk mengerti mana yang dikatakan legal dan mana yang ilegal untuk dapat bekerja di Malaysia. Saat agen mengatakan bahwa semua yang akan dikerjakannya dilakukan secara resmi, ia langsung percaya saja tanpa curiga.

Sempat dikurung lima hari di rumah Dewi dan mendengarkan cerita dari pekerja migran Indonesia bermasalah lainnya yang saat itu berada di shelter KBRI Kuala Lumpur, menurut perempuan asli Jakarta itu, membuat dirinya benar-benar kapok.

“Enggak usah lah, (kerja) di Indonesia aja, mending jangan diizinin lagi lah (kerja sebagai pembantu di Malaysia). Soalnya kayaknya enggak cuma satu (kasus) yang begini. (Agen) yang ngelakuin ini banyak, kita enggak tahu berapa,” kata Astuti, saat ditanya pendapatnya soal pengiriman pembantu secara ilegal ke Malaysia selama ini.

“Ya buktinya mereka (pekerja migran Indonesia sektor domestik yang bermasalah) banyak dan agennya beda-beda bukan hanya satu, ya kan. Berarti banyak,” kata Astuti lagi.

 

Modus klasik

Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono, mengatakan kasus yang dialami Astuti sebetulnya tipologi klasik pengiriman pekerja migran Indonesia, khususnya pembantu rumah tangga, secara non-prosedural ke Malaysia. Modusnya sama saja bertahun-tahun.

Menurut Hermono, Imigrasi seharusnya sangat mudah menemukan kejanggalan saat Astuti, seorang warga Jakarta yang baru pindah ke Pekalongan, Jawa Tengah, lalu membuat paspor untuk melancong sendiri ke Malaysia justru dari Kediri, Jawa Timur.

Secara kasatmata, menurut dia, Astuti mudah dibedakan dengan mereka yang benar-benar ingin melancong atau yang datang untuk niat lain.

Sayangnya, hal-hal semacam itu tidak pernah didalami oleh Imigrasi sebagai bentuk pencegahan pengiriman pekerja migran Indonesia secara non-prosedural.

Persoalannya adalah Indonesia sudah membuat Nota Kesepahaman (MoU) dengan Malaysia, tujuannya untuk memastikan perlindungan bagi pembantu rumah tangga, agar dapat diketahui dengan mudah siapa majikannya, bagaimana kontrak kerjanya, hingga asuransi. Semua itu ada dalam One Channel System (OCS), yang bertujuan untuk memonitor keberadaan mereka.

Namun demikian, OCS tidak akan pernah efektif kalau yang “bocor-bocor” seperti kasus Astuti dan kawan-kawannya itu tidak pernah ditutup. Itu yang menjadi masalah.

 “Jadi, sepanjang kita tidak bisa mencegah orang-orang yang berangkat secara non-prosedural, ‘One Channel System’ itu enggak akan ada gunanya. Sementara,  di sisi Malaysia kita juga tahu, banyak majikan justru maunya cari yang murah, yang ilegal. Jadi di sini (Malaysia) ada deman untuk yang murah-murah, di Indonesia ‘bocor’ terus. Jadi untuk apa ada ‘One Channel System’,” ujar Hermono, menegaskan.

Jika melihat data, sejak OCS dijalankan baru ada sekitar 1.000 pekerja migran Indonesia sektor domestik yang sudah datang ke Malaysia. “Tapi kita yakin yang datang melalui jalur ilegal itu jauh lebih banyak, apakah itu melalui pelabuhan, apakah itu melalui bandara-bandara seperti kasus-kasus Astuti ini,” ujar dia.

Ada persoalan komitmen di sana, bahwa seharusnya paspor itu dikeluarkan untuk melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) saat di luar negeri, bukan untuk menjerumuskan orang menjadi korban eksploitasi dan perdagangan di negara orang.

“Jadi penekanannya adalah, kalau masih ada pihak-pihak yang ‘memfasilitasi’ orang untuk berangkat secara non-prosedural itu sama saja dia itu ‘mentorpedo’ One Channel System,” kata Hermono. 

Jika OCS tidak ada fungsinya, atau fungsinya tidak seperti yang diharapkan, lebih baik ditutup sekalian. Karena, One Channel System itu hanya satu instrumen untuk memonitor keberadaan pekerja Indonesia.

Dengan demikian,  jelas masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan di dalam negeri untuk memastikan perlindungan PRT di luar negeri dengan OCS dapat berjalan semestinya.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023