"Kami mesti mengecek terlebih dahulu, kalau tidak ada unsur pidananya, maka setelah pelunasan bisa langsung diterbitkan SP3. Kalau ada unsur pidananya, baru diberi deponering," katanya.
Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung masih menangani delapan obligor BLBI yang harus melunasi utang-utangnya hingga akhir tahun 2006 dan apabila sudah ada pelunasan utang, bukan berarti perkara hukumnya tuntas karena masih akan diselidiki kemungkinan terjadinya penyimpangan pidana oleh obligor. Demikian disampaikan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam Raker dengan Komisi III DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan komitmen Kejaksaan Agung menuntaskan perkara BLBI. Jaksa Agung menjelaskan, delapan obligor yang sedang ditangani merupakan obligor yang pernah menandatangani perjanjian kewajiban pemegang saham (PKPS). Namun dalam keputusan Menkeu disebutkan bahwa mereka telah menunggak BLBI begitu lama. Karena itu, seluruh kewajiban akan dihitung hingga sebelum pembayaran terakhir pada akhir Desember 2006. "Kalau semua berjalan lancar, sudah ditentukan berapa kewajiban pembayarannya, berapa utang, berapa denda, maka setelah lunas mereka harus datang ke Kejaksaan. Itu mekanisme seperti di era Kabinet Megawati," katanya. Bedanya, kata Jaksa Agung, dulu ketika seluruh kewajiban dilunasi maka langsung diterbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3) sesuai rekomendasi dari otoritas moneter. Kebijakan pemerintah saat ini (pelunasan) tidak secara otomatis menjadi dasar menerbitkan SP3. "Kami mesti mengecek terlebih dahulu, kalau tidak ada unsur pidananya, maka setelah pelunasan bisa langsung diterbitkan SP3. Kalau ada unsur pidananya, baru diberi deponering," katanya. Jampindus Kejaksaan Agung Hendarman Supanji pada kesempatan itu menjelaskan, pengusutan yang sedang dilakukan terhadap dugaan penyimpangan pada KTT Asia-Afrika, dugaan penyimpangan di Sekretariat Negara dan Kasus Lativi. Pada kasus KTT Asia-Afrika, dari 48 kontrak, ada enam kontrak yang berindikasi korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp6 miliar. Namun dari kontrak lainnya (selain enam kontrak sisanya) tidak ditemukan adanya indikasi penyimpangan dan kerugian negara. "Tetapi dari pendalaman pada kontrak yang tidak merugikan negara tersebut justru menimbulkan keuntungan bagi negara yang arahnya bagi orang lain. Karena ini merupakan satu kesatuan, sekarang kita baru mengkaji apakah perbuatan beberapa orang itu memang benar-benar menimbulkan kerugian negara," katanya. Pengusutan dilanjutkan ke Sekretariat Kepresidenan. "Itu yang sedang kita lakukan pengkajian," katanya. Mengenai kasus Lativi, Jampidsus menjelaskan, telah menetapkan satu orang tersangka. Penyidikan yang telah dilakukan menunjukkan adanya indikasi akan adanya dua tersangka baru lainnya. "Kita melakukan kajian ulang terhadap kasus Bank Mandiri ini," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006