Jakarta (ANTARA) - Mencegah anak mengalami obesitas dapat dilakukan sedari dini, melalui berbagai cara, salah satunya melalui edukasi gizi dalam keluarga sejak calon orang tua menikah. Pakar gizi klinik yang tergabung dalam Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia dr Diana F. Suganda, M.Kes, SpGK mengatakan edukasi kemudian dilanjutkan saat seorang wanita hamil, melahirkan dan seterusnya.

Pada fase pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), misalnya, orang tua perlu dipastikan paham mengenai kebutuhan makan anak dalam bentuk gizi seimbang. Ini artinya, anak membutuhkan makan sesuai kebutuhan, bukan keinginan dia atau orang tua.

Seorang anak membutuhkan makanan dengan komposisi gizi, meliputi karbohidrat, protein hewani dan nabati, serta zat mikro lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dan usia tumbuh kembangnya. Dalam hal ini, orang tua perlu paham untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak mereka, demi terhindar dari risiko obesitas.

Makanan olahan, makanan beku, kalengan dan snack sebaiknya dihindari untuk dikenalkan pada anak. Sebaiknya kenalkan anak pada makanan segar dan olahan sendiri. Hidangan ayam lebih baik ketimbang nuget, kemudian memasak sendiri daging cincang dari pada sosis. Sangat penting memilih makanan segar, seperti buah-buahan dan sayuran segar.

Selain pola makan, pemilihan cara memasak yang tepat juga penting. Orang tua perlu mengurangi memasak makanan dengan cara digoreng, misalnya hanya maksimal dua kali dalam sepekan. Sementara selebihnya, mengatur cara memasak dengan menumis, membuat sop bening, membuat pepes dan memanggang karena cara ini dinilai sangat efektif mengurangi asupan kalori anak.

Di sisi lain, literasi gizi juga bisa dengan membiasakan membaca label kemasan pada produk makanan dan minuman. Orang tua bisa memperhatikan jumlah kalori yang tersedia dalam nutrition facts atau informasi nilai gizi sesuai kebutuhan harian. Informasi gizi ini biasanya diukur per penyajian. Jumlah kalori yang ada, misalnya per saji 200 kalori, tetapi setiap satu kemasan mengandung dua kali saran penyajian.

Dengan demikian, apabila sebuah makanan langsung dihabiskan, maka kalori yang dikonsumsi sebanyak dua dikali 200 kalori, yakni 400 kalori. Jumlah ini dikatakan sangat berlebihan untuk sebuah camilan atau makanan selingan.

Dalam membaca label pada kemasan, orang tua juga perlu memastikan kadar gula dan kadar garamnya. Menurut dokter, seseorang yang peduli pada kebutuhan gizi pasti akan selalu membaca label kemasan, membatasi porsi kalori, garam, dan gula sesuai kebutuhan harian dan usia anak.

Lebih lanjut, mencegah anak terkena obesitas bukan berarti sembarangan meminta anak mengurangi makanan secara drastis dan tiba-tiba. Hal ini dikatakan dokter spesialis anak konsultan endokrinologi yang menjabat sebagai sekretaris Unit Kerja Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Frida Soesanti SpA(K).

Mengurangi makanan anak secara drastis dan tiba-tiba, justru akan membuat dia kelaparan dan craving atau keinginan kuat untuk mengonsumsi makanan, sehingga akan menyebabkan sang anak makan lebih banyak.

Untuk membantu mengembalikan kebutuhan kalori anak sesuai usia dan kebutuhannya, bisa dengan membuat jadwal makan tiga kali sehari dan dua kali camilan.

Makan harus lebih banyak daripada snack. Berikan menu bervariasi, terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Pastikan menunya berwarna-warni karena yang berwarna-warni pasti sehat, berarti di menu makanan itu ada buah dan sayuran.


Penyebab obesitas

Beberapa waktu lalu, publik di Indonesia mendapati kenyataan munculnya kasus bayi usia 16 bulan yang memiliki berat badan 27 kilogram di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Menurut dr Frida Soesanti SpA(K), kasus obesitas esktrem seperti ini tidak sering ditemukan. Saat ini, tim dokter dari RSCM masih terus menyelidiki kasus tersebut.

Ada kemungkinan sang anak mengalami kelainan genetik atau faktor internal yang tidak normal, bukan semata faktor makanan, seperti susu kental manis. Tidak ada faktor tunggal penyebab obesitas, termasuk satu jenis makanan yang menyebabkan obesitas. Prinsipnya, makanan yang dikonsumsi harus seimbang dengan energi yang dikeluarkan.

Sebenarnya, kelainan genetik dan faktor gangguan hormonal yang termasuk faktor internal penyebab obesitas kasusnya relatif kecil dibandingkan dengan obesitas yang disebabkan gaya hidup tidak sehat.

Kasus obesitas yang disebabkan kelainan genetik atau gangguan hormonal, biasanya disertai gejala lain yang tidak normal. Contohnya, kelainan genetik Prader Willi Syndrome yang ditandai nafsu makan yang sangat besar, kelebihan hormon kortisol atau kekurangan hormon tiroid yang juga bisa menyebabkan obesitas. Syndrome karena kelainan genetik biasanya disertai dengan gejala lain, misalnya kelainan mata atau jantung.

Umumnya obesitas karena penyebab internal ini tidak disertai peningkatan tinggi badan, sehingga anaknya pendek, tetapi gemuk. Hal ini berbeda dengan anak yang kelebihan berat badan yang juga disertai pertambahan tinggi badannya.

Sebagian besar penyebab obesitas pada anak adalah faktor eksogen atau faktor dari lingkungan luar. Ini berawal dari orang tua yang membiarkan anak makan berlebihan dan mengonsumsi makanan tinggi kalori terus menerus, tanpa disertai aktivitas fisik cukup.

Ada pandangan dari keluarga bahwa anak gendut itu lucu. Padahal kalau kita tahu konsekuensinya, anak obesitas itu justru tidak ada lucunya.

Konsekuensi jangka panjang dari obesitas adalah  munculnya komplikasi serius, seperti diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, hingga perlemakan hati yang datang lebih dini. Obesitas menyebabkan peradangan di sel-sel tubuh secara terus menerus yang berujung munculnya berbagai penyakit kronis.

Oleh karena itu, demi mencegah anak terkena obesitas yang dapat berujung mengalami komplikasi serius, pencegahan sejak dini, mulai dari edukasi gizi pada calon orang tua hingga para orang tua cermat membaca label komposisi gizi pada makanan kemasan perlu dilakukan.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023