Mereka seperti spons, menyerap semua informasi.
JAKARTA (ANTARA) - Sudah belasan tahun kita tak lagi menikmati lagu anak-anak yang dinyanyikan penyanyi cilik di layar televisi. Program acara musik anak pun tak semasif pada era Agnes Monica kala membawakan acara Tralala-Trilili.

Kejayaan musik anak-anak kala itu, hingga kini belum terulang lagi, meski 2 dekade telah berlalu. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Dalam industri musik, lagu anak sebagai salah satu varian karya kreatif diproduksi dengan pertimbangan hukum pasar, terkait penawaran dan permintaan. Bila sampai sekian lama tidak ada produksi lagu anak-anak yang beredar luas, apakah memang tidak ada pasar yang membutuhkannya?

Padahal menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) paling mutakhir, jumlah anak di Indonesia pada rentang usia 5-14 tahun berkisar 44 juta anak. Sebanyak 16 persen dari total 275 juta penduduk. Itu potensi besar pasar untuk produk hiburan anak-anak.

Sekretaris Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) yang juga bos Musica Studio, Gumilang Ramadhan, mengakui bahwa pasar untuk lagu anak pasti ada.

“Akan tetapi, soal produksi dan pemasarannya saya tidak paham dan tidak ada keahlian pada lagu anak,” kata dia.

Sementara Direktur Industri Kreatif Musik, Seni Pertunjukan dan Penerbitan, Kemenparekraf, Mohammad Amin, memastikan pemerintah memfasilitasi diversifikasi produk dalam musik termasuk lagu anak-anak.

Namun, pemerintah melihatnya dalam gambar besar sebuah ekosistem ekonomi kreatif.

“Jadi, ekosistem ekraf itu tidak bisa hanya ditanyakan ke pemerintah, ada lima pentahelix atau baling-baling aktor penting dalam rantai nilai yang terdiri atas kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan konservasi,” papar Amin.

Selain pemerintah, perlu duduk bersama juga kalangan akademikus, komunitas pelaku industri, masyarakat, dan media, untuk mengetahui di mana simpul ketersendatan produksi sekaligus pemasaran lagu-lagu anak.

Padahal, dalam industri biasanya ada cyclic atau putaran. Semisal, masa kejayaan musik anak era 70-an yang ditandai dengan idola cilik seperti Adi Bing Slamet, Chicha Koeswoyo, Fitria Elvi Sukaesih, Sari Yok Koeswoyo, dan lain sebagainya.

Kemudian 2 dekade berikutnya muncul Agnes Monica dengan acara Tralala-Trilili yang amat populer, juga sederetan penyanyi cilik yang namanya melejit seperti Sherina, Trio Kwek-Kwek, juga Chikita Meidy, boneka Susan dengan pengampunya Ria Enes, serta banyak lagi lainnya. Namun, setelah era 90-an itu hingga sekarang--dua dekade telah terlewati--, masa putaran kejayaan musik anak belum terjadi lagi.

Keberadaan 44 juta anak Indonesia yang seharusnya dilihat sebagai peluang pasar, dalam konteks ini Amin menjelaskan, ada Deputi Kebijakan Strategis pada Kemenparekraf yang biasanya melakukan survei-survei, dan bisa dibantu oleh kebijakan strategis.

“Dalam program pengembangan musik, misalnya, perlukah kita membuat inkubasi lagu anak-anak, atau kita membuat kompetisi lagu anak-anak, itu bisa dilakukan,” kata dia.

Begitu juga untuk program dukungan sponsor, dukungan kegiatan musik, mungkin komunitas pencipta lagu anak-anak juga ingin membuat sebuah kegiatan, itu menurut Amin, bisa mengirimkan proposal ke Kemenparekraf.


Seperti spons

Pengamat pendidikan dan perlindungan anak   Rita Pranawati mengkhawatirkan kecenderungan anak-anak sekarang yang lebih hapal lagu-lagu dengan lirik dewasa, padahal isinya tentu tidak cocok untuk usia mereka.

Menurut Rita, yang juga mantan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kebiasaan anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa bisa berpengaruh pada tumbuh-kembang mereka terutama pada aspek psikologis.

Idealnya, menurut dia, orang tua memahami dan mampu memilah jenis hiburan bagi anak-anaknya.

Ia pun menyayangkan jika orang tua menganggap lumrah ketika anak-anak mendengarkan lagu-lagu tertentu demi dianggap mengikuti perkembangan tren.

“Penting peran orang tua terkait ketepatan dalam konteks pengasuhan sesuai usia,” dia menandaskan.

Lantas relasi apa yang terjadi dalam otak anak ketika mereka mendengarkan lagu? Psikolog dari Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Yuliezar Perwira Dara, M.Psi., menjelaskan reaksi saraf otak bekerja dengan lebih aktif. Sambungan-sambungan atau sinaps tersambung lebih aktif sehingga proses penerimaan informasi baru untuk dipelajari lebih cepat dan optimal.

“Lagu yang disukai dan sesuai usia anak, tempo, kata-kata, dan animasi menarik (semua indera distimulasi) maka akan lebih optimal. Otak juga dilatih fokus,” ujar Dara.

Hal itu menjadi modal awal anak siap belajar, memahami, mengonstruksi pengetahuan, mengambil keputusan, komunikasi, hingga pemecahan masalah.

“(Ada proses) optimalisasi otak kanan dan kiri melalui gerak dan lagu, gambar, dan bahasa,” imbuhnya.

Dara, yang juga pemerhati masalah anak-anak itu, mengungkapkan dampak bagi anak yang menikmati lagu tidak sesuai usianya.

Ia memaparkan ada perilaku ikutan pada masyarakat, khususnya pada usia anak yang masih dalam tahap imitasi, mengikuti apa yang didengar dan dilihat. "Mereka seperti spons, menyerap semua informasi," katanya.

Pada usia yang lebih matang maka akan disertai proses memahami, yang baik diikuti, yang buruk ditinggalkan. Namun, proses itu tidak instan, perlu peran pendampingan dari orang dewasa yang paham anak sehingga orang tua juga wajib belajar tahap-tahap capaian perkembangan anak.


Oasis dari Buton.

Kepala Kejaksaan Negeri Buton di Sulawesi Tenggara merupakan salah seorang yang amat prihatin dengan kelangkaan lagu anak-anak. Ledrik Victor Mesak Takaendengan, Kajari Buton itu, melihat saat ini anak-anak lebih suka lagu-lagu percintaan, tembang yang tidak membangun karakter mereka sebagai anak, namun mereka harus nyanyikan karena tidak punya pilihan lain. Bisa jadi, dampaknya pertumbuhan mereka pun terganggu.

“Kalau kita bandingkan dengan zaman saya dulu bagaimana kita punya lagu yang cukup banyak, baik lagu nasional, lagu kemerdekaan, lagu perjuangan, dan segala macam, serta lagu mengenai sosok guru sebagai panutan,” ungkap Ledrik.

Kekhawatiran Ledrik berlanjut ketika anak-anak ---termasuk dua anak laki-lakinya di rumah-- mendengar lagu-lagu yang makin hari tidak menolong mereka untuk bertumbuh secara wajar sebagai seorang anak, yang masih perlu untuk diisi dengan lagu-lagu yang membangun karakter.

Sementara dalam tugas kesehariannya, ia menangani banyak terjadi kasus kriminal di lingkungan pendidikan. Menurutnya, hal itu terjadi karena kurangnya pendidikan karakter yang membentuk akhlak anak.

Atas segala kecemasan yang membuncah itu, lantas Jaksa Madya Ledrik Victor menciptakan dua lagu anak, masing-masing berjudul: “Kubangga Memilikimu” dan “Gembiranya Hatiku”.

Proses penciptaan lagu itu berlangsung saat mulai pandemi COVID-19 pada akhir tahun 2019, yang mana banyak keluarga mengalami stres karena tiba-tiba harus terkurung di rumah akibat pembatasan pergerakan masyarakat.

Begitu juga dengan keluarga Ledrik dengan dua anak laki-laki berusia 8 dan 9 tahun, yang sejak semula tidak diperbolehkan bermain gawai.

Untuk mengisi kekosongan yang luar biasa dan agar anak tidak sampai depresi, Ledrik mengajak keluarga kecilnya bermain musik sembari dia membuat dua lagu tersebut, yang kemudian direkam dengan menggunakan suara anak-anaknya, Hironimus Imanuel Randa dan Zakharia Abednego Carolous

Lagu “Kubangga Memilikimu” ditujukan untuk penghormatan terhadap profesi mulia seorang guru, yang dia harapkan bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan juga mendedikasikan diri sebagai pendidik.

Adapun lagu “Gembiranya Hatiku” bercerita tentang kegirangan anak-anak saat mulai masuk sekolah usai pandemi karena mereka kembali bisa berjumpa dengan teman-temannya di sekolah.

Di Kabupaten Buton, dua lagu anak ciptakan Ledrik Victor sudah terdiseminasi secara masif di lingkungan sekolah-sekolah berkat dukungan Dinas Pendidikan setempat.

Selain itu, Kejaksaan Negeri Buton yang Ledrik pimpin juga memiliki program unggulan Wasaru (Wadah Adhyaksa Sahabat Guru) yang ia manfaatkan untuk menyebarluaskan lagu anak-anak tersebut.

Ingin agar karyanya diterima masyarakat lebih luas, Kejari Buton, peraih Sultra Award 2022, itu juga mengirim rekaman lagunya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta melalui bantuan rekan media.

Apa yang dilakukan Ledrik bak oasis di tengah kekeringan panjang hadirnya lagu anak-anak di negeri ini.

Ledrik berharap Kemendikbud berkenan melakukan kurasi terhadap karyanya hingga nantinya layak dipublikasikan untuk anak-anak di Indonesia.

Seribu langkah selalu dimulai dengan satu ayunan kaki. Itulah yang dilakukan Ledrik saat ini demi membuat anak-anak negeri ini ceria,  menyanyi sesuai dengan dunia mereka.













 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023