Jakarta (ANTARA) - Pada pertengahan Februari lalu kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) kembali menyeruak di Jakarta. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jakarta melakukan investigasi terkait kasus gagal ginjal akut yang menimpa seorang anak.  

GGAPA atau Acute Kidney Injury (AKI) merupakan kondisi klinis ketika ginjal mengalami penurunan fungsi secara cepat dan tiba-tiba dalam periode yang singkat dan ditandai dengan penurunan buang air kecil hingga tidak buang air kecil sama sekali.

Namun, sebelum hasil investigasi keluar, banyak dugaan penyebab yang muncul di antaranya obat sirup penurun panas dan sempat dilarang peredarannya sementara.

Akan tetapi belakangan, obat sirup tersebut dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Prof Hikmahanto Juwana, berpendapat kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan Indonesia harus bisa terdepan dalam dunia kesehatan. Untuk itu, perlu adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat.

“Bila tidak ada jaminan kesehatan, bukan hanya perekonomian tapi juga hubungan antarsesama akan menunjukkan kerapuhannya,” ujar Hikmahanto, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan perlu adanya investigasi secara menyeluruh untuk kasus gagal ginjal akut tersebut.

Dengan demikian, maka tidak ada lagi dugaan pelaku industri yang dituduh memproduksi obat yang mengandung unsur yang berbahaya, namun di kemudian hari tuduhan tersebut diketahui tidak benar dan tidak dapat dibuktikan.

Dia memberi contoh kasus kecelakaan bus yang menabrak pejalan kaki hingga tewas. Polisi kemudian melakukan investigasi yang mengarah pada dugaan kesalahan pengemudi bus. Oleh penuntut umum perkara dibawa ke persidangan, namun kuasa hukum pengemudi meminta otopsi jenazah korban. Dari hasil otopsi diketahui bahwa korban meninggal karena serangan jantung, bukan akibat ditabrak.

"Contoh ini adalah bukti pentingnya investigasi secara menyeluruh, bahkan termasuk pada kondisi korban. Dari analogi tersebut bisa diketahui pentingnya melihat fakta dan bukti secara cermat," kata Hikmahanto lagi.

Investigasi menyeluruh melibatkan semua pihak terkait. Tidak hanya pihak-pihak tertentu saja. Hal itu bertujuan untuk menghindari tudingan-tudingan yang dilontarkan secara terbuka dan tanpa bukti yang kuat, sehingga dapat merusak nama baik industri kesehatan.

Guru Besar bidang Ilmu Biofarmatika Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib, mengatakan berdasarkan sisi kajian kefarmasian terdapat paparan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang menjadi salah satu penyebab timbulnya GGAPA.

Dari sisi prosedur, ada tahapan yang harus dilalui oleh industri farmasi, dimulai dari bahan baku yang harus sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh berbagai pihak yang berwenang, dan seterusnya.

"Benturan dimulai dari ketentuan mengenai rantai pasok karena diatur oleh berbagai institusi secara terpisah, akibatnya tidak ada leading sector. Kemungkinan adanya tumpang tindih aturan inilah yang dikaji melalui dialog ini," Junaidi.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dan perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Eka Laksmi, berpandangan, sebenarnya gagal ginjal adalah hal yang biasa. Normalnya, gagal ginjal akut adalah komplikasi atau kejadian ikutan. Namun demikian, pada 2022 berbagai kasus muncul dengan penyebab yang tidak biasa dengan tingkat kesulitan dan bahkan kematian yang melonjak jumlah kasusnya di Agustus 2022.

Penyebab kasus itu menjadi tidak biasa adalah para pasien didominasi anak usia balita, utamanya di bawah tiga tahun, dari yang normalnya dialami anak usia remaja.

"Selain itu, kasus ini terjadi pada anak yang sebelumnya sehat, tanpa penyakit penyerta atau komorbiditas, bahkan tidak didahului oleh riwayat sakit dan datang ke rumah sakit dengan kondisi anuria atau tidak bisa berkemih," ujarnya.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Cabang Cimahi, Dzul Akmal menekankan pentingnya investigasi dan evaluasi lebih lanjut termasuk dalam hal peredaran, perdagangan, kualitas tenaga kesehatan dan pengetahuan masyarakat, termasuk penyebaran informasi.

"Karena minimnya kewenangan, maka kemandirian BPOM dibutuhkan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan perlu didorong untuk menjadi landasan dalam rangka perlindungan masyarakat yang bersifat menyeluruh," kata dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan (FITKes) Unjani itu.


Perlu perlindungan konsumen

Staf Ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko-PMK), Agus Suprapto, mengatakan perlu adanya perlindungan bagi para korban. Oleh karena itu,  RUU Badan Pengawas Obat dan Makanan harus terus dibahas secara bersama-sama, namun tidak bertele-tele.

Dalam kaitannya dengan RUU Omnibus Law Kesehatan, harus ada forum yang bisa mensinergikan keduanya. Perlu Integritas semua pihak.  “Dunia usaha membutuhkan BPOM, apapun namanya, karena urusan obat adalah urusan nyawa," kata Suprapto menegaskan.

Ahli kebijakan publik Unjani, Dr Riant Nugroho, menekankan pentingnya keamanan manusia. Pembagian kewenangan dalam isu, tercantum dalam Inpres No 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

"Dalam hal ini, keamanan kesehatan adalah bagian dari keamanan manusia. Dan bagian yang pelik dari keamanan kesehatan adalah aspek kesehatan dan keselamatan anak. Ini adalah salah satu dimensi yang penting namun tidak mudah penanganannya," kata Riant.

Di lain pihak, BPOM terkendala secara kelembagaan. Kapasitas dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki saat ini sangat kurang dan harus diperkuat dengan menciptakan ekosistem. Ruang lingkup itu menjadi perhatian khusus karena RUU Pengawasan Obat dan Makanan sudah ditunggu. Untuk itu, RUU Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem dan tata kelola lembaga yang baik. 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023