London (ANTARA) - Kolapsnya bank pemberi pinjaman Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB), baru-baru ini sekali lagi menyoroti pentingnya regulasi perbankan dalam hal pengurangan risiko.

Implikasi dari krisis SVB terhadap sistem keuangan adalah regulasi kemungkinan akan ditinjau ulang, ujar Scott Davies, pakar keuangan yang juga pendiri CDAM, perusahaan manajemen investasi di London.

SVB ditutup oleh regulator AS pada Jumat (10/3) pekan lalu setelah bank pemberi pinjaman yang berfokus pada sektor teknologi itu melaporkan kerugian besar dari penjualan sekuritas, yang memicu penarikan simpanan di bank tersebut. Ini merupakan kegagalan bank terbesar kedua dalam sejarah AS.

Davies, yang juga menjabat sebagai chief investment officer CDAM, mengatakan bahwa beberapa tahun lalu undang-undang AS menaikkan ambang batas untuk pemantauan bank.

"Namun, deregulasi dan berkurangnya pelaporan yang mengikutinya kemungkinan telah meningkatkan risiko krisis perbankan seperti ini," ungkapnya.

Menurut sebuah laporan CNN, pada 2018, mantan presiden AS Donald Trump menandatangani sebuah undang-undang, yang membebaskan beberapa bank dengan skala seperti SVB dari kebijakan yang lebih ketat pascakrisis keuangan tahun 2008.

Di bawah aturan lama tersebut, bank-bank dengan aset sedikitnya 50 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.418) diwajibkan untuk melakukan 'stress test' Federal Reserve tahunan, guna mempertahankan tingkat modal tertentu (agar dapat menyerap kerugian) dan likuiditas (agar dapat dengan cepat memenuhi kewajiban tunai).

Selain itu juga mengajukan rencana 'surat wasiat' (living will) untuk pembubaran bank-bank tersebut secara cepat dan tertib jika mengalami kegagalan, demikian disampaikan CNN.
 
   Namun, pembatalan undang-undang 2018 membuat peraturan ketat tersebut hanya ditujukan bagi bank dengan aset minimal 250 miliar dolar AS, sebut CNN


"SVB akan telah dipantau, dan kesalahan penilaian mereka akan telah dihentikan sejak lama, andai ambang batas tetap pada 50 miliar dolar AS," tutur Davies yang telah bekerja di industri keuangan selama lebih dari dua dasawarsa.

Berbicara tentang akar penyebab kolapsnya SVB, Davies berpendapat bahwa pihak manajemen bank tersebut harus menanggung porsi kesalahan paling besar, disusul oleh perubahan regulasi dan kenaikan suku bunga Federal Reserve.

"Insiden itu akan menimbulkan pertanyaan bagi Federal Reserve tentang apakah akan terus menaikkan suku bunga, Kebijakan pemantauan kemungkinan akan terpengaruh," ujar Davies.

Namun, investor veteran itu tidak mengkhawatirkan risiko "penularan". Dia menekankan bahwa SVB memiliki beberapa fitur spesifik perusahaan, seperti sangat berfokus pada sektor teknologi serta mendukung perusahaan rintisan (startup) dan telah berkembang jauh lebih cepat daripada yang lain dalam beberapa tahun terakhir.

"Saya kira alasan mengapa hal itu tidak menular adalah karena tidak banyak bank yang mengalami jenis pertumbuhan seperti ini. Dan sistemnya unlevered (tidak memperhitungkan utang dalam struktur modalnya)."

Dia menegaskan bahwa SVB tidak memiliki masalah buku pinjaman (loan book). 
 
 

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2023