Jakarta (ANTARA) - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi mengklarifikasi seputar penghimpunan dana iuran anggota yang dikelola organisasi.

"Kalau ini enggak saya jawab, nanti kesannya IDI sebagai lembaga masyarakat yang nonformal menghimpun uang lebih besar," kata Adib Khumaidi dalam agenda Public Hearing RUU Kesehatan di Gedung Kemenkes RI, Kuningan Jakarta, Jumat sore.

Adib mengatakan, biaya iuran satu orang anggota IDI senilai Rp30 ribu per bulan. Jika dikalikan lima tahun masa aktif keanggotaan, total mencapai Rp1,8 juta per orang.

"Iuran IDI, artinya ini adalah sebuah hal yang normal di dalam lembaga masyarakat menghimpun adanya iuran," katanya.

Nominal tersebut, di luar tanggungan iuran perhimpunan senilai Rp100 ribu per orang, yang disesuaikan dengan kemampuan berbagai perhimpunan kedokteran. Jika dikali selama lima tahun masa aktif, totalnya mencapai Rp6 juta.

"Artinya, saya di perhimpunan ortopedi, spesialis penyakit dalam, dan yang lainnya berbeda-beda. Ada perhimpunan yang nominalnya lebih rendah, tapi rata-rata Rp100 ribu per bulan," katanya.

Adib mengatakan, setiap anggota IDI juga perlu menebus biaya kartu tanda anggota elektronik Rp30 ribu per orang.

Kemudian biaya rekomendasi praktik yang telah disepakati sebesar Rp100 ribu per Surat Izin Praktik (SIP) yang berlaku lima tahun.

Adib mengatakan, tambahan biaya sebesar Rp100 ribu per dokter untuk keperluan resertifikasi bukan dihimpun oleh IDI, melainkan Konsil Kedokteran.

"Jadi nominal yang dikeluarkan kalau total selama lima tahun adalah Rp4,4 juta, dengan rata-rata dokter hanya membayar Rp140 ribu," katanya.

Adib mengatakan, IDI sebagai lembaga yang memperoleh amanat dari negara dalam pembinaan kendali mutu dokter di Indonesia, tidak pernah mendapatkan anggaran yang bersumber dari negara.

Pernyataan itu disampaikan Adib untuk mengklarifikasi kabar yang muncul di sejumlah media massa bahwa IDI terkesan menghimpun dana dalam jumlah besar.

Baca juga: Menkes ungkap kaitan pendidikan dokter mahal dan harga obat berlipat

Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam agenda serupa, Kamis (16/3), menyorot besaran biaya untuk penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter spesialis berkisar Rp6 juta per orang. Jika dikalikan penerbitan STR setahun mencapai 77 ribu sertifikat, totalnya berkisar Rp430 miliar.

Untuk memperoleh STR, kata Budi, seorang peserta didik membutuhkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan tertentu, salah satunya seminar berbiaya Rp1 juta per peserta untuk 4 SKP.

"Jadi, kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp62 juta, dikali 140 ribu jumlah dokter, itu kan Rp1 triliun lebih," katanya.

Sementara itu, kegiatan Public Hearing RUU Kesehatan yang dipimpin Menkes Budi, juga dihadiri Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan perwakilan dinas kesehatan provinsi serta kabupaten/kota secara luring dan daring.

Baca juga: Menkes inventarisasi masalah layanan kesehatan lewat Public Hearing
Baca juga: IDI sebut 24 dokter berada dalam situasi kerusuhan di Yahukimo

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023