Himbauan penghentian sementara (moratorium) membayar pajak oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada warga Nahdlatul Ulama (NU) akan menimbulkan gangguan terhadap perekonomian nasional. "Ini (persoalan) serius. Proporsi penerimaan negara terbesarnya (berasal) dari pajak, lebih dari 70 persen. Penerimaan itu menjadi modal bagi pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi (dalam) negara," kata pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menanggapi ancaman boikot pajak warga NU sebagaimana dinyatakan Ketua PBNU Said Aqil.

Ancaman itu dikemukakan Said Aqil dalam musyawarah nasional NU di Cirebon pada 14-18 September sebagai wujud kritik NU atas pengelolaan penerimaan pajak dan alokasi dana pajak setelah kasus-kasus penyelewengan pajak oleh oknum Ditjen Pajak dan sejumlah kasus korupsi terungkap. Ketua PBNU menyatakan langkah NU mempersoalkan kewajiban membayar pajak dalam Munas Alim Ulama itu bukan bermaksud mengajak masyarakat untuk pembangkangan, melainkan peringatan agar negara serius membenahi sektor perpajakan.

Himbauan yang bersifat ancaman itu, menurut Latif, akan mempengaruhi kapasitas fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), fungsi-fungsi pemerintahan, dan berdampak negatif kepada rakyat jika dilaksanakan. "Kita berharap moratorium (membayar pajak) itu tidak dijalankan.

Tapi, ini juga menjadi pelajaran bagi pengelola negara, bahwa ternyata ada ancaman yang serius. Kritik yang sangat keras dari PBNU disebabkan ketidakpuasan mereka baik dalam proses penerimaan pajak ataupun dalam alokasi anggaran hasil pajak," kata Latif. Latif menilai ancaman itu muncul karena warga NU telah membayar pajak, tapi tidak menikmati fasilitas ataupun adanya peran negara seperti infrastruktur yang jelek dan layanan birokrasi yang tidak optimal.

Sementara, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan akan memberikan sanksi tegas berupa denda kepada Wajib Pajak yang mengikuti anjuran boikot pajak ataupun menunda pembayaran pajak. Latif mengatakan peringatan Ditjen Pajak kepada Wajib Pajak berupa denda tidak serta-merta dapat meredam kritikan PBNU tentang penyelewengan penerimaan pajak dan korupsi alokasi hasil pajak. "Bahwa Ditjen Pajak menetapkan sanksi kepada Wajib Pajak yang belum membayar pajak itu sah.  Tapi, saya tidak dapat membayangkan jika (denda) itu bersifat massal," kata Latif. Warga NU, lanjut Latif, akan mengikuti seruan-seruan yang disampaikan PBNU, terutama warga dari kalangan akar rumput. 

Walaupun Ditjen Pajak menyatakan usaha pemboikotan pajak sebagai kontraprestasi membangun bangsa dan melanggar undang-undang perpajakan, Latif mengatakan persoalan utama terletak pada kekecewaan warga NU yang juga Wajib Pajak akibat penyelewengan pajak dan alokasi hasil pajak yang dikorupsi. "Kalau saya berdiskusi dengan beberapa teman dari NU, mereka ingin mafia perpajakan, mafia anggaran, diminimalisir kalau memang sulit diberantas total," kata Latif.

Latif mengatakan pemerintah perlu membuktikan secara serius upaya-upaya pencegahan penyelewengan penerimaan pajak maupun pengalokasian anggaran. PBNU juga menyatakan tidak akan mempermasalahkan kewajiban membayar pajak selama pengelolaan pajak dilakukan dengan amanah. Tapi kewajiban itu dianggap perlu ditinjau ulang jika pemerintah terbukti tidak amanah. "Dibutuhkan komunikasi yang lebih antara organisasi-organisasi massa dengan pemerintah. Saya khawatir jika publik terus menerus disuguhi tontonan atau berita seperti ini, dampaknya akan sulit dikontrol," kata Latif.

Narasumber: Latif Adam, Pengamat Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012