Jakarta (ANTARA) - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, baru saja menandatangani Undang-undang No. 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Pelayanan Psikologi. Di satu sisi, hal ini merupakan sejarah besar bagi psikologi di Indonesia karena ntuk pertama kalinya psikologi sebagai profesi di Indonesia mendapat pengakuan dari negara.

Namun demikian, di sisi lain – meskipun kita menyadari bahwa tidak ada hukum yang memuaskan semua pihak – terdapat indikasi bahwa psikologi di Indonesia masih mengalami bias dalam penyusunan kebijakan publik yang mengatur psikologi sendiri.

Indikasi ini tercermin dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU tersebut yang berbunyi :

(1) Layanan Psikologi dilaksanakan oleh Psikolog sesuai dengan kewenangannya.

(2) Psikolog dalam memberikan Layanan Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh atau bekerja sama dengan lulusan pendidikan akademik Psikologi.

Psikolog dalam Undang-undang itu diartikan sebagai, “Seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi Psikologi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat," dan layanan psikologi diartikan sebagai, “Segala aktivitas pemberian jasa dan praktik Psikologi yang memerlukan kompetensi sebagai Psikolog dalam rangka tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang bertujuan untuk pengembangan potensi diri dan peningkatan kesejahteraan psikologis.”

Secara ringkas Undang-undang ini menempatkan Psikolog Profesi sebagai pelaku utama dalam pelayanan psikologi. Sedangkan Psikolog Akademik (“lulusan pendidikan akademik Psikologi”, misalnya lulusan Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, dan Doktor Psikologi – tetapi tidak menempuh Pendidikan Profesi Psikologi) diposisikan sebagai aktor sekunder atau figuran dalam memberikan layanan psikologis.

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2), Psikolog Akademik hanya dapat memberikan layanan psikologis jika Psikolog Profesi “meminta bantuan atau kerja sama” mereka.

Kontras dengan situasi di tingkat global, konsultasi (psychological consulting), misalnya, jelas merupakan bagian dari layanan psikologi (https://law.justia.com/codes/virginia/2018/title-54.1/chapter-36/section-54.1-3600/) yang di Indonesia biasa dilakukan oleh Psikolog Akademik yang menerapkan ilmunya untuk memecahkan masalah masyarakat.

Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia, seorang Psikolog Akademik seharusnya dapat memberikan layanan psikologis tertentu secara mandiri tanpa harus bergantung pada permintaan atau panggilan dari Psikolog Profesi (atau disebut juga “psikolog praktik” – yang mengajak kita untuk memikirkan ulang makna dari praktik psikologi). Sayangnya, bukan itu yang terjadi sekarang berdasarkan UU No 23 Tahun 2022.

Hal ini mengingatkan kita pada ketegangan antara Psikologi Profesi dan Psikologi Akademik setelah Perang Dunia Pertama, yang menghasilkan pembentukan Asosiasi Ilmu Psikologi (Association for Psychological Science, APS) yang terpisah dari APA (American Psychological Association).

APA dianggap sebagai terlalu berfokus pada Psikologi Profesi dan tidak memberikan sokongan yang memadai bagi perkembangan dan kemajuan Psikologi Akademik.

Pijakan Historis

Dalam satu perspektif, perkembangan regulasi UU Pendidikan dan Layanan Psikologi merupakan indikasi masih terselipnya “pikiran terjajah” sebagai hasil kerja kekuatan tradisional dalam mendefinisikan identitas psikologis di Indonesia.

Di manakah lokasi kolonisasi pikiran itu? Memang tidak ada lokasi fisik, melainkan letak sosialnya kita rasakan, ketika Psikologi di Indonesia melupakan, atau bahkan sengaja memutarbalikkan konteks sejarahnya sendiri.

Histori yang dimaksud adalah bahwa Psikologi di Indonesia sesungguhnya berasal dari dua buah akar atau asal-usul sekaligus, yaitu Psikologi Akademik (beserta implikasinya: Psikologi Terapan) dan Praktik Profesi.

Dari segi praktik profesi, sebagaimana sering dikutip, momentumnya adalah lahirnya pendidikan psikologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1950-an, di mana pendirinya adalah seorang psikiater profesional, yaitu Prof. Dr. Slamet Iman Santoso.

Pendidikan Psikologi pada masa itu menghasilkan Psikolog-psikolog Profesi untuk mencapai tujuan “the right man in the right place” di dunia kerja. Selain di Universitas Indonesia, di Universitas Padjadjaran mulai tahun 1950-1960, pendidikan psikologi juga diorientasikan untuk menghasilkan Psikolog Profesi yang melayani kebutuhan militer khususnya TNI Angkatan Darat.

Pertanyaan yang mengemuka saat itu, “Siapa yang akan menjadi kader-kader Psikologi Angkatan Darat di kemudian hari?” ( https://psikologi.unpad.ac.id/sejarah-psikologi-unpad/ ).

Namun yang sering dilupakan adalah pada waktu yang hampir bersamaan, pada tahun 1957 sudah ada Lembaga Psikologi di Fakultas Ilmu Paedagogik UGM yang diketuai oleh Dr. Busono Wiwoho (Kepala Bagian Psikologi), yang melakukan penelitian adaptasi berbagai tes untuk digunakan dalam budaya Indonesia (Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini dan Esok, 2007), atau dalam terminologi saat ini dikenal sebagai culture fair test.

Oleh karena itu anggapan populer bahwa Psikologi berasal dari rahim Kedokteran perlu dilengkapi, antara lain dokumen yang beredar baru-baru ini yang disusun oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia berjudul “Menjawab Isu-Isu Krusial dalam Pembahasan RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi : Tentang Psikologi Itu Sendiri”, yang menyatakan bahwa: “Di Indonesia, Psikologi bermula dari Fakultas Kedokteran. Hal ini menandakan akar dari program psikologi di Indonesia adalah ilmu kesehatan, secara khusus ilmu kesehatan jiwa/mental.”

Yang otentik adalah bahwa di Indonesia, Psikologi dimulai dari aliran Kesehatan/Kedokteran serta aliran Pedagogi dan Riset. Tidak heran jika kita menjumpai fakta bahwa program pendidikan Magister Psikologi dengan peminatan Psikologi Terapan ternyata bukanlah pendidikan psikolog profesi, melainkan pendidikan akademik yang bahkan bersifat multi-entry (sarjana bukan dari Psikologi dapat mengikutinya), yang melatih peserta program guna menerapkan "teori, prinsip, dan teknik psikologi untuk masalah praktis, seperti penanggulangan masalah kehidupan, pendidikan, bimbingan kejuruan, industri, ergonomi, urusan konsumen, periklanan, kampanye politik, dan masalah lingkungan" (Kamus APA, https://dictionary.apa.org/applied-psychology) – seperti yang terjadi di Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga.

Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa layanan psikologi telah banyak dan sejak lama juga diberikan oleh Psikolog Akademik & Psikolog Terapan secara mandiri. Ketika UU No. 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Pelayanan Psikologi mengatur bahwa pelaku utama pelayanan psikologi adalah Psikolog Profesi (Psikolog Praktik) – yang sangat kental dengan nuansa psikologi klinis dan/atau psikodiagnosis, maka ini merupakan bentuk ketidakdemokratisan dalam pengaturan profesi psikologi Indonesia.

Psikologi yang tak demokratis dapat beroperasi dengan cara-cara melalui kekuasaan, menggunakan instrumen yang membenarkan status quo. Misalnya, ada wacana yang diedarkan bahwa jika layanan psikologis dapat diberikan oleh seorang Psikolog Akademik atau Psikolog Terapan, maka akan terjadi kebingungan di masyarakat Indonesia mengenai “jenis-jenis Psikolog yang berbeda” sehingga akan lebih rawan terjadi malpraktek psikologis.

Bila dikaji dari perspektif System Justification, beberapa orang yang menganjurkan perspektif tradisional seperti itu mungkin ingin mempertahankan citra diri (pribadi atau kelompok) dan harga diri yang tinggi dengan mempertahankan sistem sosial yang menguntungkan mereka.

Uniknya, orang-orang yang dirugikan oleh sistem itu (dalam konteks ini: Psikolog Akademik atau Terapan) juga “bersetuju” dengan status quo ini. Dalam konteks Indonesia, Psikolog Akademik tidak membuat wacana epistemik kritis yang signifikan pada tingkat nasional ketika Rancangan Undang-Undang Psikologi menyatakan bahwa keistimewaan untuk melakukan layanan psikologis terletak (hampir) secara eksklusif pada Psikolog Profesi/Psikolog Praktik.

Hal inilah yang dimaksud dengan “kesadaran ganda”, di mana kelompok yang mengalami pengebirian atau keterasingan secara paradoks menggunakan mata pihak lain (yang justru membatasi otonominya) untuk melihat dan menilai diri sendiri dan dunia sosialnya.

Apakah mengherankan jika – sebagai konsekuensi UU No. 23 Tahun 2022 – layanan psikologi berupa pengembangan dan pembinaan tes psikologi harus secara eksklusif dipimpin oleh seorang psikolog profesional yang berpraktik? Meskipun dalam SK No. 023/SK/PP-HIMPSI/VIII/2018 yang diterbitkan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), disebutkan bahwa psikolog profesional yang memimpin itu wajib memiliki “keahlian di bidang psikometri yang dapat dibuktikan melalui ijazah/latar belakang pendidikan dan/atau sertifikat pelatihan”.

Namun, kita dapat secara langsung mempertanyakan, berapa banyak psikolog profesi yang memiliki keahlian di bidang psikometri? Regulasi tersebut jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa layanan psikometri atau pengukuran psikologis selama ini dipimpin oleh Psikolog Akademik atau bahkan oleh Ahli Evaluasi Pendidikan (yang belum tentu seorang psikolog profesi yang berpraktik).

Apalagi saat ini, di era sains data dan kecerdasan buatan, kita membutuhkan banyak ahli psikometri dan psikoinformatika yang ikut andil dalam memproduksi alat ukur psikologi dengan menggunakan inovasi teknologi.

Jika jumlah psikolog profesi yang memiliki keterampilan psikometri sangat sedikit, bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan alat ukur psikologi yang berkualitas? Bukankah dominasi psikolog profesional yang tersurat dalam UU No. 23 Tahun 2022 merupakan bentuk yang bertentangan dengan kebebasan epistemologis? Kebebasan epistemologis menganjurkan pembelajaran bersama dan produksi Bersama, dan bukan keunggulan atau superioritas psikolog profesi di atas ahli sains psikologi.

Optimisme Regulasi Turunan

Jalan keluar dari permasalahan tersebut adalah memastikan bahwa turunan dari UU Pendidikan dan Pelayanan Psikologi dalam bentuk aturan-aturan yang lebih operasional (seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dll) memberikan porsi pengaturan yang signifikan mengenai bentuk kerjasama yang bersifat egaliter antara Psikolog Profesi dan Psikolog Akademik/Psikolog Terapan. Konsekuensinya, pembalikan “kesadaran palsu” (bahwa Psikolog Profesi lebih berwenang daripada Psikolog Akademik dalam ranah layanan jasa dan praktik psikologi) harus dilakukan sejak masa pendidikan seseorang di program Sarjana Psikologi.

Mata kuliah Filsafat Ilmu dan Filsafat Manusia pada Fakultas Psikologi di Indonesia dapat menjadi media untuk memberikan pencerahan bahwa Psikologi Akademik merupakan fondasi dari Psikologi Profesi, dan bahwa Psikologi Profesi tidak mungkin ada tanpa Psikologi Akademik.

Didukung oleh pelajaran sejarah tentang identitas psikologis di Indonesia yang multi-mazhab dan multi-asal-usul (Profesi dan Akademik), kami ingin menghimbau dengan kuat bahwa superioritas dalam wujud tekstual – sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang – jangan sampai bertransformasi menjadi ketidakdemokratisan dalam peraturan turunan yang lebih kontekstual.

Para psikolog akademik seperti psikolog sosial jangan dikastrasi perannya dalam memberikan layanan psikologi sebagaimana termaktub dalam UU Pendidikan dan Layanan Psikologi Pasal 33 (pengukuran psikologis, psikoedukasi, penelitian, dan intervensi sosial) dan Pasal 34 (intervensi Psikologi - seperti konsultasi, konseling, dan pelatihan psikologi, serta bantuan psikologis awal).

Sebaliknya, kualifikasi seorang psikolog akademik perlu dirumuskan dan ditegaskan. Penulis mengusulkan, misalnya, kualifikasi Psikolog Sosial, di samping alumnus pendidikan psikologi profesi yang berkiprah dalam ranah sosial/komunitas, adalah kumulasi dari (1) Sarjana Psikologi, (2) Magister Psikologi peminatan Psikologi Sosial/Terapan Intervensi Sosial, dan/atau (3) Tersertifikasi sebagai Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas.

Sudah saatnya penafian sejarah psikologi Indonesia itu berakhir. Psikolog Akademik harus diberi kesempatan besar untuk memberikan layanan psikologis tertentu secara mandiri sesuai dengan keahlian dan kedaulatan mereka. Kiprah psikologi nan demokratis untuk kesejahteraan bangsa mulai dari pembebasan kebijakan publiknya.

*) Juneman Abraham adalah Kepala Kelompok Riset Perilaku Konsumen dan Etika Digital serta Profesor Psikologi Sosial pada Fakultas Humaniora di Universitas Bina Nusantara.

Copyright © ANTARA 2023