Jakarta (ANTARA) - Puluhan pasien di RSUD Pasar Minggu dengan sabar menunggu antrean untuk pemeriksaan di salah satu poliklinik rawat jalan.

Pada umumnya layanan kesehatan di DKI Jakarta jauh lebih baik pada saat ini dibanding daerah lain. Indikatornya dari antrean pasien yang tak terlalu panjang.

Meskioun demikian, secara Nasional, layanan kesehatan memang masih perlu ditingkatkan. Masih ada puskesmas di daerah yang tenaga dokternya baru tersedia pada hari-hari tertentu.

Atau bahkan ada pasien yang harus menempuh perjalanan berjam-jam dari rumahnya agar bisa mendapatkan pelayanan dokter.

Rasio jumlah dokter dibanding jumlah penduduk secara Nasional masih belum ideal, yakni 0,42 dokter per seribu penduduk. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok rasio ideal satu negara adalah satu dokter per seribu penduduk.

Pada kenyataannya perguruan tinggi swasta dan negeri sudah meluluskan ribuan tenaga dokter. Hanya saja, tidak semua lulusannya kemudian terjun sebagai dokter.

Salah satu dugaan kurangnya jumlah tenaga dokter adalah akibat sulitnya mengantongi surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) dari organisasi profesi. Tanpa mengantongi itu semua, maka dokter tidak akan bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Bahkan, berangkat dari keprihatinan itu, sejumlah dokter lantas mendirikan organisasi Forum Dokter Pejuang STR dan Diaspora (Forum Dokter Susah Praktik) sebagai bentuk perjuangan terhadap nasib mereka.

Tak hanya dokter, tenaga farmasi dan perawat juga menghadapi persoalan serupa. Kesulitan untuk mendapat pengakuan kompetensi dari organisasi profesi membuat banyak lulusan yang tidak bisa segera menerapkan ilmu yang didapat.

Berlindung di balik keselamatan pasien, membuat dokter dan tenaga kesehatan terpaksa masih harus menjalani tahapan panjang, sebelum bisa menerapkan ilmu yang didapat.

Sungguh dilematis, di tengah banyaknya tenaga dokter yang siap untuk memberikan pelayanan,  namun di sisi lain masih banyak daerah yang kekurangan dokter dan tenaga kesehatan.
Koalisi Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) memberikan dukungan terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law). ANTARA/ Ganet

Jawaban

RUU Kesehatan (Omnibus Law) diharapkan menjadi jawaban atas kesulitan yang dihadapi tenaga kesehatan di lapangan, terutama terkait penerbitan STR dan SIP oleh organisasi profesi.

Kehadiran RUU Kesehatan ini mendapat dukungan dari sembilan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), yakni PDSI (Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia), PASI (Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia), Farmasis Indonesia Bersatu (FIB), Forum Dokter Pejuang STR, Diaspora (Forum Dokter Susah Praktik), Tim Pemerhati Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan Indonesia, Lembaga Pemerhati Perawat Indonesia (LPPI), Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI), dan KAMPAK (Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Kuat).

Juru bicara KTKI dr. Erfen Gustiawan menyatakan dukungannya terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar segera menerbitkan RUU Kesehatan (Omnibus Law) mengingat langkah ini selaras dengan perjuangan dokter dan tenaga kesehatan selama ini.

Sesuai usulan di dalam RUU Kesehatan agar STR dibuat seumur hidup, seperti halnya KTP dan dihapuskannya SIP, yang hal ini juga dilakukan sejumlah negara lain, dengan tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan.

KTKI mengingatkan hampir Rp160 triliun devisa negara yang hilang di bidang kesehatan apabila persoalan yang dihadapi tenaga kesehatan tidak kunjung diperbaiki.

Terkait hal itu, KTKI juga mendukung kebijakan yang menyebutkan bahwa organisasi tenaga kesehatan tidaklah tunggal agar tenaga kesehatan dapat memilih organisasi yang terbaik demi tercapainya pelayanan dan kesehatan masyarakat.

Sedangkan Ketua Umum Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) Brigjen TNI (Purn) dr. Jajang Edi Priyanto mengatakan hadirnya RUU Kesehatan membuat perjuangan dokter selama ini mendapat dukungan dan tidak lagi merasa sendirian.

Regulasi, bagi PDSi juga dibutuhkan bagi dokter-dokter lulusan luar negeri agar bisa mendapatkan perlakuan setara ketika membuka praktik di Indonesia. Harapannya RUU Kesehatan bisa mengakomodir hal-hal seperti itu agar pelayanan kesehatan di dalam negeri dapat ditingkatkan.

Hal senada juga diungkap Wakil Ketua Umum PDSI Prof. dr. Deby Vinski yang mengatakan RUU Kesehatan juga mengatur agar organisasi profesi kesehatan tidak lagi menjadi wadah tunggal, tujuannya agar tenaga kesehatan dapat memilih yang terbaik demi tercapainya pelayanan paripurna terhadap masyarakat.
Banjir produk impor di industri farmasi. (ANTARA/ Ganet)

Inovasi

Hadirnya UU Kesehatan yang baru diharapkan dapat melepaskan belenggu tenaga kesehatan dalam melakukan inovasi di bidang kesehatan.

Hal ini bertujuan agar Indonesia tidak lagi diserbu dengan produk-produk impor di bidang kesehatan.

Ketua Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI) Brigjen Pol Mufti Djusnir, M.Si, Apt mengatakan sejauh ini belum ada undang-undang yang bisa mengayomi profesi apoteker dan dengan hadirnya UU Kesehatan diharapkan apoteker bisa lebih memiliki peran.

Terkait produk impor, PASI berharap dengan hadirnya UU Kesehatan, apoteker bisa berkontribusi memberikan arahan agar tidak terjadi penyalahgunaan obat.

Mufti yang juga menjabat Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional RI ini mengatakan sejak merdeka, pengobatan di Indonesia tidak kalah dengan luar negeri, bahkan dalam pengobatan, profesi apoteker berperan untuk memberi rekomendasi kontra indikasi dan efek samping, termasuk produk impor.

Sedangkan Ketua Umum Farmasi Indonesia Bersatu Apt Merry Patrilinila berharap penyederhanaan terhadap praktik profesi apoteker serta menjauhkan pengenaan biaya-biaya yang membebani selama ini.

Biaya-biaya seperti itu sudah ada sejak masuk menjalani profesi itu, sehingga membuat tenaga apoteker tidak mempunyai pilihan lain untuk menurutinya.

Dengan hadirnya berbagai wadah organisasi profesi akan membuat lulusan apoteker memiliki banyak pilihan, dalam arti mencari wadah yang tidak mencekik, tetapi bisa memperjuangkan nasib mereka.

Memang harus diakui banyak dari kebijakan terpusat sebelumnya membuat banyak lulusan kedokteran atau farmasi yang terpaksa menyudahi praktiknya untuk menggantung ijazah dan menggeluti profesi di luar yang ditekuni selama ini.

Sementara saat ini Indonesia membutuhkan kebijakan untuk memberikan pelayanan yang mumpuni di bidang kesehatan. Hadirnya RUU Kesehatan ini diharapkan bisa memberikan jawaban agar kebutuhan tenaga kesehatan terakomodir, sedangkan di sisi lain pelayanan kepada masyarakat tetap terpenuhi, tidak ada yang dikurang-kurangi.

Hadirnya UU Kesehatan ini diharapkan bisa menghapus dugaan makelar atau calo agar tenaga kesehatan dapat cepat menerapkan ilmu dengan lebih profesional.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023