Jakarta (ANTARA) - Kehadiran 11 Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berkaitan erat dengan tata kelola penggunaan royalti lagu dan/musik di Indonesia dapat menciptakan iklim kompetisi sehat sehingga bermuara pada kepuasan pencipta, penyanyi, dan produser terhadap hak mereka.

"Di luar negeri hanya ada dua atau tiga lembaga semacam ini. Masing-masing LMK mengurusi pencipta, penyanyi, dan produser sehingga lebih mudah. Sedangkan di sini, kita punya 11 LMK dengan kompleksitas lebih tinggi. Sisi positifnya adalah biarkan mereka bersaing secara sehat," kata anggota Dewan Pengawas LMK dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Candra Darusman di Jakarta, Kamis (6/4).

Candra, musisi tahun 1980an, mengatakan pengawas sudah mengunjungi semua LMK dan memberikan sejumlah penilaian yang telah diserahkan kepada menteri.

"Temuan kami adalah berbagai LMK masih ada yang belum efisien dan ada yang sudah efisien. Kami juga meminta laporan audit untuk diunggah ke laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual agar semua pihak bisa melihat siapa yang efisien, siapa yang tidak," kata Candra.

Di lain sisi, Candra menilai bahwa komisioner LMKN periode ini sudah memperlihatkan niat tulus untuk membawa perubahan mengenai tata kelola royalti sebagai bagian memperbaiki negeri.

Sementara itu mengenai kewajiban pengguna untuk membayar royalti lagu dan/musik, Komisioner LMKN Hak Terkait Johnny Maukar mengatakan selama ini pemerintah telah membantu melakukan sosialisasi secara berulang-ulang meski masih tetap ada pihak-pihak yang belum menunaikan hal tersebut.

"Selain sosialisasi, kita memang seharusnya ada penegakan hukum dari peraturan perundangan yang sudah sangat komplet. Jadi, kalau undang-undangnya sudah mengatur kepada siapa pengguna harus membayar, ya, mesti dilakukan. Selain itu, mesti ada regulasi yang mengatur industri agar berada di bawah satu koordinasi kementerian," kata Johnny.

Johnny mencontohkan apabila Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki satu peraturan setingkat menteri yang mengharuskan adanya pembayaran royalti untuk perizinan, maka permasalahan ketidakpatuhan mengenai kewajiban membayar akan langsung selesai.

"Atau misal kepolisian menyatakan izin keramaian baru bisa keluar kalau ada rekomendasi melakukan upaya awal untuk membayar royalti, ya, cukup dengan rekomendasi itu. Promotor atau penyelenggara acara pasti akan melakukan upaya perjanjian lisensi dan membayar royalti. Jadi, dikunci di regulasi itu saja, maka semua hotel, kafe, restoran dan lainnya akan membayar," kata Johnny menjelaskan.

Bila regulasi bisa terealisasi, lanjut Johnny, maka 'kue' royalti akan menjadi sangat besar.

"Hal ini harus dibicarakan lebih lanjut oleh semua pihak secara bersama-sama untuk membahas seperti apa tahap-tahap dan roadmap (peta jalannya)-nya," kata Johnny.

Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023