Dili (ANTARA News) - Presiden Xanana Gusmao menjalankan wewenang darurat dan memegang kendali tunggal atas militer di Timor Timur yang dilanda kekacauan, Selasa, namun ia menolak seruan-seruan untuk memecat perdana menterinya yang dikecam banyak pihak. Setelah kekerasan beberapa hari di Dili, ibukota Timor Timur, yang disalahkan berbagai pihak pada Perdana Menteri Mari Alkatiri, Gusmao mengumumkan bahwa ia menjalankan wewenang darurat setelah berunding dengan saingan politiknya itu. Menteri Pertahanan Roque Rodriguez dan Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato telah dipecat dan Gusmao kini bertanggung jawab atas kementerian-kementerian itu, dalam apa yang disebutnya upaya untuk mengatasi pertumpahan darah yang tampaknya mendorong negara itu ke arah perang saudara. Pengumuman itu disampaikan setelah perundingan krisis selama dua hari antara Gusmao, Alkatiri dan kabinet menyusul pertumpahan darah dan kerusuhan yang melanda negara itu, yang menewaskan sedikitnya 20 orang dalam sepekan ini. Gusmao mengatakan, wewenang darurat akan berlangsung selama kurun waktu 30 hari dan bisa diperpanjang jika perlu. Dalam sebuah pernyataan ia mengatakan, ia "melaksanakan langkah-langkah penting itu untuk mencegah kekerasan dan menghindari kematian lebih lanjut" serta untuk "pemulihan cepat ketertiban umum". Alkatiri mengisyaratkan pada akhir pekan, Gusmao akan menggunakan isu kekerasan terakhir itu untuk memecatnya. Di luar istana presiden, Senin, demonstran mendesak pemecatan Alkatiri, sementara orang-orang yang bergabung dalam antrean panjang untuk memperoleh makanan di pusat kota itu menyalahkan pemerintahnya yang tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi penderitaan mereka. "Pemerintah masih tertidur," kata Agon Mesquiea, seorang warga Timor Timur, kepada AFP. Ia termasuk diantara massa 10.000 orang dalam antrean sepanjang satu kilometer di luar gudang beras utama di kota itu pada Selasa pagi. "Jika Alkatiri masih perdana menteri ketika pertemuan berakhir, maka kekerasan akan terus berlangsung," katanya. Manuver politik itu dilakukan setelah pemerintah meminta bantuan 2.000 prajurit asing dari Australia dan negara-negara lain untuk membantu memulihkan ketertiban pekan lalu. Kerusuhan meletus di Timor Timur bulan lalu ketika Alkatiri memecat 600 prajurit, atau sekitar 40 persen dari angkatan bersenjata, setelah mereka memprotes diskriminasi terhadap prajurit yang berasal dari wilayah barat negara itu.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006