Jakarta (ANTARA) - Sarung, kain lebar bermotif yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga membentuk tabung itu bukan hal mustahil bisa dijadikan busana sehari-hari, sama seperti rok atau celana yang identik dengan gaya berbusana barat. Ini setidaknya diyakini salah satunya oleh Dewan Penasihat Indonesian Fashion Chamber (IFC) Dina Midiani.

Kain ini sejak lama sudah identik dengan busana masyarakat timur, termasuk Indonesia. Tetapi, seiring datangnya penjajah dan orang-orang asing, mulailah diperkenalkan gaya berbusana barat dan perlahan penggunaan kain-kain mulai ditinggalkan.

Dahulu, sarung memang erat kaitannya dengan kaum santri. Pada masa menjelang kemerdekaan, kaum nasionalis dan santri menjadikan sarung sebagai lambang perlawanan terhadap barat sekaligus menunjukkan kemandirian.

Setelah kemerdekaan, para nasionalis mulai meninggalkan sarung, sementara santri masih mempertahankannya. Dari sanalah orang-orang mengenal sarung akrab dengan keseharian santri, kerap digunakan dalam ibadah keagamaan, khususnya shalat.

Antropolog asal Amerika Serikat Cliffort Geertz dalam bukunya berjudul “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” menyebut kaum sarungan atau orang-orang tradisionalis, yakni santri, yang dalam kesehariannya menggunakan sarung.

Sebenarnya bukan hanya para pria, para wanita juga mengenakan sarung sebagai bawahan. Biasanya mereka mengenakan bawahan sarung untuk melengkapi atasan kebaya atau baju kurung, bahkan hingga saat ini, seperti komunitas Minang Limpapeh saat menghadiri pemutaran film “Buya Hamka”, beberapa waktu lalu. Para wanita dalam komunitas itu menjadikan sarung motif kotak-kotak sebagai bawahan, selendang dan penutup kepala, berpadu dengan atasan hitam berlengan panjang.

Sarung sebagai kain dapat menjadi busana sehari-hari, seperti halnya rok atau celana. Orang-orang di perkotaan bisa mengenakannya sebagai bawahan untuk melengkapi atasan apapun, dan berbagai keperluan, termasuk sekadar pergi ke pusat perbelanjaan.

Motif kain yang digunakan pun bisa beragam, karena berbagai daerah Indonesia dikenal memiliki kekhasannya. Motif sarung batik Pakem Kaumanan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, misalnya, atau sure’, yakni garis geometris sederhana dan bunga khas sarung sutra Mandar di Sulawesi Barat.

Di lain sisi, para perancang busana bisa turut andil dengan mengeluarkan desain sarung yang menginspirasi orang-orang mengenakan sarung agar tampak bergaya.

Mereka juga dapat membantu memecahkan berbagai kendala saat bersarung, seperti melorot dan minim lokasi penyimpanan barang berharga, semisal dompet dan ponsel. Pemecahan kendala semacam ini, menurut Dina, sebenarnya sederhana, yakni dengan menambahkan stagen dengan kantong.

IFC sendiri melalui gerakan lokal “Sarong is My New Style” ikut mengembangkan sarung sebagai gaya berpakaian urban, dengan gaya kekinian, namun tetap mengusung konsep lokal. Kata sarong alih-alih sarung digunakan agar lebih universal.

Tahun ini, IFC menggandeng para desainer dan komunitas sarung berpartisipasi mengajarkan perajin kain membuat sarung dengan model simpel, terutama untuk turis, menjual produk kain sarung di toko ritel, mengajak pelajar sekolah mode untuk merancang koleksi baju dan pakaian bawahan dengan tambahan sarung sebagai pelengkap koleksinya.

Bertepatan dengan peringatan Hari Sarung Nasional pada Maret lalu, mereka melakukan kampanye daring serentak di media sosial, diikuti kampanye daring di Jakarta bertajuk “Sarong Style at Car Free Day” dan kota-kota besar lainnya, hingga sepanjang tahun dan masyarakat terbiasa mengenakan sarung.

Ini menjadi langkah mereka untuk menyejajarkan sarung yang biasanya menjadi gaya berpakaian timur dengan gaya berpakaian barat. Saat ini sudah saatnya menjadikan gaya berbusana timur sebagai gaya berpakaian global.

Apabila harapan ini terwujud, pada akhirnya, sambung Dina, perekonomian masyarakat di kota maupun daerah, baik desainer maupun perajin atau UMKM, bisa ikut bergerak maju seiring permintaan kain-kain meningkat dan perajin-perajin muda bisa ikut memopulerkan sarung.

Pemerintah diharapkan bisa menyadari itu lalu mengajak masyarakat memopulerkan gaya bersarung dan menelurkan sebuah gerakan bersama.


Berani dan bangga

Tidak ada pakem khusus saat bersarung, karena sarung bisa dipadukan dengan gaya apapun. Orang-orang bisa menggunakan sarung untuk tampil dengan gaya sesuka mereka, mulai dari sederhana, unik, hingga artistik. Kain yang digunakan tak selalu harus motif kotak-kotak, tetapi juga bisa batik atau tenun.

“Yang penting berani dan sesuaikan dengan gaya kita,” tutur Dina yang pernah menempuh pendidikan di ISWI Fashion Academy itu.

Di lain sisi, sebenarnya penggunaan sarung dalam acara formal tak bisa dipandang sebelah mata, apalagi bila bermuatan misi positif di balik itu. Putri Tenun Songket Indonesia 2022 Vina Anggi Sitorus, misalnya, yang pernah memadupadankan sarung dengan dominasi warna cokelat dan hitam yang dijadikan rok, dengan atasan kemeja.

Saat itu dia diundang dalam acara kerja sama antara Indonesia dan Swedia yang dihadiri para pebisnis internasional dan segenap jajaran Kedutaan Besar Swedia. Bagi Vina, ada rasa bangga berpenampilan demikian pada acara multinasional semacam itu dan ini bagi dia menjadi aksi nyata menunjukkan keindahan kain tradisional Indonesia.

Dia mengatakan, tamu-tamu dari Swedia saat itu mengaku tertarik dengan kain sarung yang dikenakannya. Mereka, bahkan mengaitkannya dengan jenama ternama asal Prancis.

Bagi perempuan berdarah Batak ini, kita harus bangga dulu dengan fesyen kita, bangga memakainya. Orang luar akan menganggap itu suatu hal yang keren juga. Pada akhirnya, glorify-lah kain tradisional.
​​​​​​
Berbicara padu padan, kain tradisional Indonesia, seperti sarung dan tenun, memiliki pola yang cenderung ramai, sehingga sebaiknya dipadupadankan dengan potongan pakaian simpel, tidak bermotif yang warnanya serasi.

Sementara itu, membahas penggunaan sarung, sebenarnya ini tak terbatas pada untuk para Muslim. Yakob Arfin (28), asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, mengaku kerap mengenakan sarung yang sering dikaitkan dengan Muslim religius. Dia bahkan paham cara mengenakan sarung yang biasa dikenakan santri di Madura, yakni menarik salah satu ujung sarung sampai dada, mempertemukan dua sudut bagian, melipatnya dengan cara digulung ke bawah sampai area perut atau pusar.

Walaupun kain sarung memang identik dengan kain lebar yang biasa dipakai Muslim pria, tetapi siapa pun bisa mengenakannya sebagaimana fungsinya sebagai bagian dari fesyen. Mengenakan sarung terasa nyaman sama halnya celana pendek.

Pemerintah melalui peringatan Hari Sarung Nasional, setiap 3 Maret, mengajak masyarakat menggunakan sarung sebagai apresiasi atas produk yang memiliki filosofi tinggi. Ini disambut para pegiat fesyen Tanah Air dengan menciptakan gerakan-gerakan lokal, yang salah satunya diharapkan agar orang-orang dapat mengenakan sarung dalam busana sehari-hari, sama seperti rok atau celana. Kini, tinggal menunggu semakin banyak orang yang mau mengenakannya.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023