Jakarta (ANTARA News) - Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menyebutkan 65,1 persen penduduk Jakarta memaafkan mantan Presiden Soeharto, namun mereka tidak menginginkan proses hukum Soeharto dihentikan. Menurut Direktur LSI, Denny JA, di Jakarta, Kamis, saat menyampaikan hasil survey LSI itu, publik tidak inginkan proses hukum Soeharto dihentikan bukan karena faktor kemarahan atau dendam yang masih tersimpan, tetapi karena publik menginginkan supremasi hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Survey dilaksanakan di Jakarta mulai 17-20 Mei dengan metode "multi stage random sampling". Sebanyak 438 responden diwawancarai melalui tatap muka. Hasil survey itu tidak mewakili pendapat seluruh penduduk Indonesia, namun hanya populasi Jakarta. Selain itu, ia juga mengatakan hasil survey menunjukkan keputusan Jaksa Agung mengeluarkan SKP3 ditentang mayoritas publik. Sebanyak 65,4 persen pemilih berpendidikan menentang SKP3 itu, sekitar 63,9 persen pemilih PDIP pada Pemilu 2004 lalu juga menentang keras penerbitan SKP3 tersebut. Sebanyak 54,9 persen pemilih menyatakan SKP3 itu tidak adil. Meski demikian, hasil survey menunjukkan bahwa 63,9 persen pemilih menganggap Soeharto adalah presiden yang berhasil, dan hanya 17,9 persen yang menanggapnya sebagai presiden yang gagal. Jasa Soeharto yang dianggap penting adalah pembangunan ekonomi, dan 56,1 persen mengakui kesuksesan tersebut. Dengan kata lain, 69,6 persen menyatakan ekonomi di masa Orde Baru lebih bagus dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi. "Lebih jauh jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, mayoritas pemilih (62,3 persen) menganggap kondisi Indonesia di era Soeharto lebih baik dibandingkan dengan kondisi sekarang ini," katanya. Meski demikian, ada juga pemilih yang menyatakan Soeharto sebagai penyebab kemunduran Indonesa, namun jumlahnya hanya lima persen saja. Three in one Berdasarkan hasil survey itu, LSI menyarankan paket "three in one" sebagai solusi kasus mantan Presiden Soeharto. Paket itu berupa : pengeluaran Perppu sehingga memungkinkan Soeharto diadili secara in absentia; pengadilan Soeharto dilaksanakan secepat mungkin (paling lama sebulan) dan dalam satu tahap saja; dan Presiden melakukan rehabilitasi jika Soeharto dinyatakan tidak bersalah, atau memberikan grasi jika Soeharto diputuskan bersalah dalam pengadilan tersebut. Menurutnya, kebijakan "three in one" itu memiliki lima kekuatan. Pertama adalah tradisi supremasi hukum diperkokoh, dan selalu diupayakan terobosan hukum yang membuat proses hukum tidak terhenti. Kedua adalah adanya kepastian kondisi dan pemaafan bagi Soeharto jika dinyatakan bersalah. Soeharto dan keluarganya tidak lagi terombang- ambing dalam ketidakpastian hukum. Ketiga adalah emosi dan opini publik mendapatkan respon. Keempat adalah kasus mantan Presiden Soeharto terhindar dari komoditas politik berkepanjangan, dan yang terakhir adalah tuntasnya kasus hukum Soeharto menjadi suatu keberhasilan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (*)

Copyright © ANTARA 2006