Jakarta (ANTARA) - Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana mengatakan Hindu mengajarkan semangat toleransi dan cinta Tanah Air kepada umatnya.

"Berbagai nilai moral dan spiritual dalam ajaran agama Hindu menekankan agar umat manusia dapat hidup berdampingan di tengah perbedaan dan juga mengedepankan pengabdian terhadap bangsa dan negara," kata Ari Dwipayana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Ajaran tersebut tercermin pada Bhinneka Tunggal Ika yang tercantum dalam kitab Sutasoma. Seluruh umat beragama di Indonesia diharapkan mampu merawat nilai yang dikembangkan para leluhur nusantara dengan hidup harmoni dalam kebinekaan.

Ari Dwipayana mengatakan hal itu dalam perayaan Dharma Shanti Nyepi di Jawa Timur, Minggu (16/4).

"Sekitar 750 tahun lalu, raja terakhir Singasari, Sri Maharaja Kertanegara (1268-1292) mencetuskan konsepsi Cakrawala Mandala Dwipantara," jelasnya.

Baca juga: Stafsus Presiden: Kepemimpinan teruji dalam krisis

Gagasan itu, tambahnya, bisa disebut sebagai konsep geopolitik dan geostrategis pertama yang melihat cakrawala negara kepulauan.

"Sri Kertanegara datang dengan gagasan besar untuk mempersatukan kerajaan di kepulauan yang disebut Dwipantara di bawah panji-panji Singasari," katanya.

Menurut Ari, gagasan yang dicetuskan Raja Singasari saat itu bersandar pada misi untuk membangun stabilitas, kerja sama, dan keamanan kawasan.

Kemudian, empat dasawarsa berikutnya, gagasan Cakrawala Mandala Dwipantara dilanjutkan di era Majapahit. Mahapatih Gajah Mada berjanji tidak akan beristirahat atau pun menikmati kesenangan sebelum berhasil menyatukan wilayah-wilayah di nusantara.

"Kita semua mewarisi api semangat Kertanegara, api semangat Gajah Mada yang menunjukkan bahwa laut yang menyambung pulau-pulau Nusantara bukanlah penghalang bagi persatuan," imbuhnya.

Baca juga: Ari Dwipayana ajak masyarakat perkuat moderasi beragama lewat seni

Kitab Sutasoma memberikan penegasan bahwa sejak dulu para leluhur bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi hidup berdampingan penuh toleransi dalam perbedaan agama.

Kitab yang ditulis Mpu Tantular itu menjelaskan situasi sosial masyarakat Jawa Timur saat itu sejak Dinasti Isana, Kediri, Singasari, hingga Majapahit, yaitu terdapat masyarakat yang menganut Siwa (Hindu) hidup berdampingan dengan penganut Buddha.

"Ini artinya, Bhinneka Tunggal Ika bukan sebatas kata-kata, tapi diwujudkan dalam cara hidup bersama," ujar Ari Dwipayana.

Baca juga: Yayasan Puri Kauhan Ubud gagas lomba film pendek

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023