Pamekasan (ANTARA) - Madura, merupakan salah satu pulau di Jawa Timur yang mayoritas warganya menganut agama Islam. Warna ke-Islam-an di Pulau Garam juga memiliki tradisi khas yang berbeda dengan daerah lain di Nusantara.

Umumnya, Muslim di Madura berpegang teguh pada paham Islam tradisional yang berafiliasi ke organisasi dan tradisi Nahdlatul Ulama (NU).

Mayoritas masyarakat Muslim Madura menjalani Idul Fitri bersamaan dengan ketentuan Pemerintah, Sabtu, 22 April 2023. Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang melaksanakan Shalat Id mengikuti Muhammadiyah pada Jumat, 21 April, khususnya di wilayah perkotaan.

Suasana Idul Fitri mulai terasa pada malam hari, dimana hampir seluruh masjid atau mushalla mengumandangkan takbir menggunakan pelantang suara. Bahkan, beberapa rumah juga mengumandangkan lantunan takbir menggunakan salon ditingkahi musik pengiring.

Lantunan takbir dari berbagai tempat itu juga dimeriahkan dengan suara petasan saling bersahutan.

Wartawan ANTARA yang mengikuti Lebaran di sebuah desa di Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, menyaksikan pada malam Sabtu itu sejumlah warga tampak menghadiri kediaman para kiai atau ustaz dengan membawa hantaran makanan, terutama orang tua yang memiliki anak masih belajar mengaji. Selain mengantar makanan, orang tua laki-laki juga mengikuti pembacaan takbir di masjid atau langgar.

Lantunan takbir baru berhenti di atas pukul 23 WIB dan suasana perdesaan itu kembali sepi. Pada pukul 03:00 dini hari lantunan lafaz yang mengagungkan nama Allah itu kembali berkumandang dan baru berhenti sekitar pukul 7 pagi saat tiba waktunya Shalat Id. Shalat Idul Fitri dilaksanakan terpencar di masjid dan langgar atau mushalla, sehingga tidak ada penumpukan jamaah dalam satu masjid, seperti di kota-kota.

Dalam satu langgar, jamaah yang hadir antara 30 hingga 50 orang.

Hal yang mungkin berbeda dengan Shalat Id di perkotaan adalah khotbah yang hanya disampaikan dengan Bahasa Arab. Tidak ada pesan-pesan Idul Fitri dengan Bahasa Madura atau Bahasa Indonesia dalam khotbah itu.

Ustadz Ali Ghufron, alumni Tafsir Al Quran Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, menjelaskan bahwa sebaiknya khotbah itu disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh jamaah karena di dalamnya mengandung pesan-pesan keagamaan.

Ia mengakui bahwa tidak mudah mengubah kebiasaan beribadah dari kebiasaan sebelumnya karena bisa menjadi masalah secara sosial.

Menurut penuturan sejumlah warga di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, dari zaman dulu tradisi Shalat Id memang seperti itu dan terus dipertahankan hingga kini.

"Shalat Id di sini memang begitu, sama dengan Shalat Jumat, yang khotbahnya tidak ada ada yang berbahasa Indonesia atau Madura," kata Ahmad, seorang warga.

Para tokoh agama di perdesaan tidak pernah berani mengubah kebiasaan dalam ritual itu karena khawatir menjadi persoalan di masyarakat. Penuturan warga, di desa lain pernah ada tokoh muda yang ingin mengadopsi cara khotbah Shalat Jumat yang ditambahi dengan tausiyah menggunakan Bahasa Madura, dengan harapan ada pesan-pesan agama yang bisa disampaikan kepada jamaah yang hadir. Bukannya mendapat dukungan, perubahan itu justru mengurangi jumlah jamaah Shalat Jumat. Beberapa warga memilih tidak Shalat Jumat karena "protes" dengan perubahan kebiasaan dalam pembacaan khotbah itu. Dari segi waktu, penambahan materi khotbah dengan bahasa lokal justru memperlama waktu pelaksanaan shalat berjamaah.

Karena alasan itulah, maka kebiasaan Shalat Id juga tetap dipertahankan menggunakan kebiasaan lama.

Perbedaan lainnya adalah, pada rakaat kedua setelah rukuk, imam membaca doa qunut seperti dalam Shalat Subuh.

Menurut Ahli Ghufron, pendapat para ulama sebagian besar hanya dibaca pada Shalat Subuh, sementara shalat lainnya jarang dibaca. Meskipun demikian ia mengakui bahwa masih ada beberapa imam yang membaca qunut saat Shalat Jumat atau Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Seusai Shalat Id, keluarga kiai pemilik mushalla atau langgar menyediakan makan atau sarapan untuk jamaah yang hadir. Nasi dan lauk sederhana itu biasanya juga merupakan kumpulan dari kiriman warga sekitar, dengan hidangan nasi berlauk daging seadanya ditambah mi goreng dan potongan telor ayam yang digodok kemudian digoreng.

Seusai makan bersama, jamaah kemudian berbincang mengenai berbagai hal dan sekitar pukul 8:30 pulang ke rumah masing-masing. Kegiatan warga dilanjutkan dengan silaturahmi ke famili dan tetangga dekat. Bisanya keluarga yang lebih muda terlebih dahulu mendatangi yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Setelah itu, pada malam atau esok harinya keluarga lebih tua mengadakan kunjungan balasan ke yang lebih muda.

Tak lupa, saat kunjungan, sekaligus menjadi ajang saling meminta maaf itu, keluarga yang berkunjung membawa makanan, berupa nasi dan lauk daging ditambah jajan basah, seperti kucur, wajik dan lainnya. Untuk lauk daging, kebiasaan mengolah dari warga desa di Pamekasan hampir semuanya sama, yaitu mirip rendang atau semur kering.

Tradisi makanan Lebaran di Madura tidak mengenal sajian ketupat, melainkan hanya nasi. Sementara ketupat disediakan 7 hari setelah Idul Fitri. Orang Madura biasa menyebut sebagai Lebaran Ketupat atau lebaran bagi yang berpuasa Syawal selama 6 hari.

Selain mengunjungi keluarga yang masih hidup, di hari pertama Lebaran, warga juga mengunjungi keluarga yang sudah ada di dalam kubur atau ziarah. Di areal kuburan mereka membaca doa tahlil bersama, kemudian menaburkan bunga di atas pusara keluarganya. Jangan bayangkan taburan itu seperti di kota-kota yang jenisnya lengkap, mulai dari mawar, kenanga, melati, dan lainnya. Tabur bunga di makam di perdesaan Madura ini cukup dengan menggunakan irisan daun pandan, sehingga di atas pusara itu taburan bunganya sama, warna hijau dari daun pandan yang dirajang.

Jika di areal makan berjumpa dengan tetangga atau teman, biasanya dimanfaatkan warga untuk saling meminta maaf. Mereka yang baru pulang dari rantau biasanya berkomunikasi lebih lama karena diwarnai dengan basa-basi saling bertanya kabar, termasuk jumlah anak atau cucu.

Setelah dari makam, warga kemudian melanjutkan kunjungan ke sanak familinya yang tinggal berbeda desa untuk bermaaf-maafan. Sementara untuk keluarga yang lebih jauh, kunjungan biasanya dilakukan pada esok hari, lusa, atau sebelum Lebaran Ketupat.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023