Phnom Penh (ANTARA) - Slogan “Beyond The Games” yang terpampang di poster-poster berilusterasi SEA Games 32 dengan nuansa budaya setempat menyita seluruh sapuan mata ketika turun dari pesawat di Bandara Internasional Phnom Penh, seakan-akan memberi aba-aba kepada kontingen yang berdatangan untuk memasuki sebuah arena yang bukan sekadar lomba mengumpulkan medali, tapi lebih dari itu.

Sunggingan senyum manis dan ucapan selamat datang dengan gestur keramahan standar internasional dari para wanita muda menyambut kontingen seraya mengarahkan ke jalur periksa imigrasi khusus yang memang sudah disiapkan untuk para delegasi SEA Games.

Seusai akreditasi yang super kilat, para atlet, pelatih, dan seluruh ofisial pun dipandu ke suatu tempat dan di sana sudah dihidangkan makanan. Tentu saja gratis, karena ini bagian dari kejutan yang diberikan panitia penyelenggara ajang olahraga multievent tingkat regional Asia Tenggara ini.

Ungkapan “tidak ada makan siang gratis” benar-benar diputarbalikkan secara harfiah di SEA Games 2023 Kamboja. Atlet dan seluruh kontingen tidak perlu memikirkan perut karena panitia sudah menjamin suplay makanan secara cuma-cuma. Para atlet yang memerlukan makanan khusus, seperti makanan halal dan vegetarian pun tak perlu khawatir karena sejak pendaftaran mereka sudah didata tentang pilihan makanan dan itu terekam secara komputerisasi.

Bahkan, kemurahan panitia penyelenggara atau the Cambodia SEA Games Organizing Committee (CAMSOC) lebih dari itu. Atas restu Perdana Menteri Hun Sen, CAMSOC bukan hanya menggratiskan makan siang, tetapi menggratiskan seluruh akomodasi bagi seluruh kontingen dari semua negara yang hadir di pesta olahraga Asia Tenggara ini.

CAMSOC pun mengumumkan untuk memberikan tiket masuk gratis bagi penonton, dan hak siar gratis untuk mitra media. Keputusan ini semakin menegaskan komitmen kerajaan untuk menjadi tuan rumah bagi "keluarga olahraga regional" dan tamu internasional dalam lingkungan solidaritas dan persahabatan yang bertetangga di Asia Tenggara.

Kamboja telah mencadangkan sekitar 7 juta Dolar AS untuk menjamu delegasi olahraga dari negara-negara peserta SEA Games. Dengan hitungan kasar, biasanya tuan rumah SEA Games mengenakan biaya rata-rata sebesar 50 Dolar AS per orang per hari untuk makanan dan akomodasi.

Dengan kebijakan itu, kontingen Indonesia yang mengirimkan 599 atlet paling tidak bisa menghemat 30.000 Dolar AS (sekitar Rp500 juta) per hari atau jika rata-rata kontingen tinggal selama 12 hari maka total yang dihemat mencapai sekitar 360.000 Dolar AS (atau lebih dari Rp5 miliar). Namun, tentu saja, sama sekali bukan karena adanya “makan siang gratisan” yang membuat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo yang belum seumur jagung bertugas, merestui penambahan 100 atlet dari yang dicanangkan sebelumnya.

“Kami ingin dunia tahu bahwa Kamboja adalah negara kecil, tetapi hatinya lebih luas dari lautan,” kata Perdana Menteri Hun Sen tentang keputasan SEA Games serba gratis itu.

“Tidak ada makan siang gratis” adalah idiom universal yang diambil dari Bahasa Inggris "There Ain't No Such Thing As A Free Lunch (TANSTAAFL)" dan tak jarang istilah ini disampaikan dengan konteks nuansa sinis untuk mengungkapkan bahwa tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di dunia ini dan idiom ini kemudian dipakai untuk mencurigai “motif” kebaikan seseorang, terutama di dunia bisnis dan politik.

Istilah TANSTAAFL banyak digambarkan sebagai sikap pamrih dengan memberi kebaikan demi kepentingan tertentu, seperti mengajak banyak orang untuk bergabung ke multi level marketing, usaha yang kebanyakan menawarkan uang berlipat ganda tanpa harus bekerja, atau dalam konteks politik, terutama menjelang Pemilu, TANSTAAFL menjadi prinsip saat “mengikat” orang untuk bergabung dalam partai atau mendukung kandidat tertentu melalui hutang budi atau hutang benda dan fasilitas.

Sulit menemukan catatan sejarah yang pasti tentang munculnya istilah TANSTAAFL, namun The New York Times pernah menggambarkan bahwa sekitar tahun 1872 ada tren umum di kalangan pemilik bar di Crescent City (New Orleans) yang menggratiskan makan siang, meskipun minumnya tetap harus bayar. Banyak makanan yang ditawarkan mengandung banyak garam (misalnya ham, keju, dan crackers asin), sehingga mereka yang memakannya mau enggak mau akhirnya harus membeli banyak bir untuk menetralkan mulut yang keasinan.

Dalam kondisi sekarang, prinsip “tidak ada makan siang gratis” ini mungkin biasa kita temui di tempat karaoke, coffee bar, dan lainnya. Pengunjung seakan-akan mendapatkan wifi atau suasana kafe secara gratis, padahal mereka membayarnya melalui makanan atau minuman yang mereka nikmati.

Istilah “makan siang gratis” ini kemudian kian populer ketika ekonom mazhab pasar bebas Milton Friedman menggunakan There's No Such Thing as a Free Lunch sebagai judul buku yang salah satu bagiannya menjelaskan tentang ongkos peluang. Di sini istilah “tidak ada makan siang gratis” tidak ditafsirkan sebagai hal negatif, tetapi lebih kepada kiat memupuk kecerdasan finansial. Implementasi TANSTAAFL dalam sebuah prinsip ilmu ekonomi ini dapat membawa beberapa manfaat apabila dimaknai dengan tepat, seperti mengubah mentalitas terabas atau siap saji (budaya instan) yang gemar menuai atau memanen tanpa pernah mau menanam.

Dalam konteks positif ini, “Makan siang gratis” adalah semacam umpan untuk menggaet peluang bisnis. Ini menunjukkan akan adanya biaya kesempatan, untuk hasil yang besar. "Untuk mendapatkan satu hal yang kita sukai, kita biasanya harus mengorbankan sesuatu yang kita sukai. Membuat keputusan memerlukan pengorbanan dari satu sasaran dengan sasaran lain,” kata Greg Mankiw, Professor Economi New Keynesian dari Harvard University.

Perdana Mentri Hun Sen pun tampaknya menyadari perlunya pengorbanan Kamboja jika negara ini ingin menjadi besar, paling tidak bisa mengimbangi para tetangganya di Asia Tenggara dan melalui SEA Games inilah peluang untuk menjadi besar itu terbuka.

“Kami menghabiskan jutaan Dolar AS dan kami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelenggarakan acara ini. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa menjual tiket ke orang kita sendiri? Berapa banyak yang bisa kami dapatkan (dari menjual tiket)? Kami tidak membutuhkan uang dari penjualan tiket atau iklan apa pun di Kamboja. Yang kami butuhkan saat ini adalah dunia tahu tentang Kamboja,” kata Hun Sen, seperti dikutip media-media lokal.

Bisa jadi Hun Sen benar. Namun ada juga orang yang mungkin mengatakan bahwa yang diputuskan itu bukan lah tiket gratis. Para pembayar pajak lah yang pertama-tama membayar ongkos penyelenggaraan SEA Games 32 itu.

Kamboja telah menghabiskan sekitar 120 juta Dolar AS selama tiga tahun untuk penyelenggaraan SEA Games dan bukan tidak mungkin akan membengkak dalam perhitungan akhir. Katakanlah, jika SEA Games berakhir dengan biaya penyelenggaraan yang dikeluarkan pemerintah Kamboja sekitar 120 juta Dolar AS, maka itu bila dibagi berarti sama dengan sekitar 7 Dolar AS per orang Kamboja. Mengingat bahwa secara realistis kurang dari sepersepuluh populasi dapat menghadiri acara apa pun, maka jumlah itu bukanlah pengeluaran uang pembayar pajak yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi Kamboja.

Menurut Bank Dunia, PDB Kamboja pada tahun 2021 adalah 27 miliar Dolar AS. Itu berarti anggaran mereka untuk SEA Games menyumbang 0,74 persen dari angka itu. Rasio ini 53 kali lebih tinggi dari Vietnam, yang menghabiskan 51 juta Dolar AS untuk menjadi tuan rumah SEA Games ke-31 tahun lalu yang setara dengan 0,014 persen dari PDB Vietnam.

Namun, bagi pemerintah mungkin angka itu worth it sebagai umpan gratis demi keuntungan yang besar. Apalagi pemilihan umum Kamboja akan datang pada bulan Juli. Jadi memberikan tiket gratis menonton SEA Games adalah masuk akal sebagai gerakan populis.

SEA Games baru dibuka pada 5 Mei, tetapi Kamboja sudah jauh-jauh hari menjadi sorotan karena menjadi tuan rumah pertama dalam sejarah SEA Games yang menanggung semua biaya negara peserta dan ini terjadi terlepas dari fakta bahwa Kamboja memiliki PDB terendah di Asia Tenggara, hanya di atas Laos, Timor Leste, dan Brunei.

Kamboja rela merogoh kocek besar untuk menjadi tuan rumah SEA Games ke-32. Beberapa orang menyuarakan keprihatinan bahwa menjadi tuan rumah SEA Games seperti itu akan berdampak negatif terhadap perekonomian Kamboja. Meskipun demikian, keputusan Hun Sen disambut baik oleh negara-negara peserta SEA Games, dan di atas kertas SEA Games serba gratis ini akan menguntungkan dengan menjangkau penonton yang lebih besar di wilayah regional tersebut.

Bisa jadi keberanian Kamboja menjadi tuan rumah SEA Games yang serba gratis ini menunjukkan potensi ekonomi dan pandangan ke depan mereka dan diharapkan ajang olahraga ini akan menjadi magnet investasi internasional dan wisatawan ke Kamboja. Tentu mereka sudah menghitung karena mereka juga sadar bahwa “tak ada makan siang yang gratis.”

 

Copyright © ANTARA 2023