Teba Modern memanfaatkan bakteri untuk mempercepat proses penguraian sampah organik.
Denpasar (ANTARA) - Sampah merupakan material hasil dari sisa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun saat ini banyak cara pengelolaan sampah, nyatanya manusia masih belum sepenuhnya dapat mengendalikan jumlah sampah yang kadang kian menumpuk.

Hal tersebut menyebabkan sampah menjadi salah satu faktor penyebab rusaknya ekosistem di Bumi. Permasalahan ini menjadi PR bersama untuk menanggulanginya.

Di Indonesia, berdasarkan data Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat timbunan sampah di Indonesia tahun 2022 sebanyak 19.588.922, 83 ton per tahun, dengan persentase penanganan sampah yang baru mencapai 49,2 persen atau 9.638.552,16 ton per tahun.

Umumnya sampah-sampah tersebut berasal dari limbah rumah tangga seperti sisa makanan, sampah dapur, sisa sayuran, buah-buahan, dan lain sebagainya. Ada pula limbah dari perusahaan industri, pasar, dan tempat-tempat umum.

Aktivitas pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) yang tidak terkontrol menyulitkan upaya pemilahan sampah oleh pengelola TPA.

I Wayan Santi Adnyana,
 aktivis lingkungan di Bali, turut prihatin terhadap kondisi yang terjadi. Ia memaparkan bahwa permasalahan sampah yang semakin menumpuk dan tidak dicarikan solusi akan membuang banyak waktu, tenaga, hingga anggaran pemerintah.

Sebenarnya kita semua sudah tahu, dari tahun ke tahun suhu Bumi terus meningkat dan para ahli telah memprediksi jika kita terus tidak melakukan sesuatu maka bencana akan terjadi. Mengenai pengelolaan sampah sepertinya belum menemui cara yang tepat sehingga yang terjadi saat ini ya begitu-begitu saja. Sampah diangkut, kemudian dibawa ke TPA, dan ditimbun sampai menggunung” ujar Santi.
 

Inovasi Teba Modern

Menghadapi masalah sampah yang pelik tersebut maka setiap elemen dari penggiat lingkungan mulai mencoba mencari solusi yang tepat dengan beragam program yang dieksekusi, hingga ditemukannya Teba Modern sebagai salah satu alternatif yang dinilai efektif dan efisien dalam menanggulangi sampah yang menumpuk.

Santi menyatakan bahwa Teba Modern merupakan sebuah alat atau tempat membuat sampah organik menjadi pupuk kompos. “Yang digunakan hanya sampah organik, kalau anorganik akan dibawa ke bank sampah karena masih dapat dimanfaatkan kembali serta bernilai ekonomi,” ujar Santi ketika ditemui.

Ia menilai bahwa banyak yang belum mengetahui terobosan Teba Modern  karena mereka akan mengira bahwa itu sekadar meja atau kursi untuk duduk-duduk dan berkumpul saja, atau bahkan tidak mengetahui keberadaan Teba Modern karena dibentuk dengan minimalis dan menyatu dengan rerumputan di halaman rumah.

Sejatinya Teba Modern mengadaptasi sistem pembuangan sampah pada leluhur Bali di zaman dulu. Teba  merupakan lubang besar yang digali dari tanah untuk membuang sampah dan umumnya berada di belakang rumah.

Ketika teba telah dipenuhi oleh sampah, biasanya masyarakat tempo dulu akan menggali lubang kembali untuk pembuangan sampah, tidak heran jika tanah di Bali pada saat itu sangat subur dan bagus untuk pertanian dan perkebunan.

Pada zaman modern, teba  bukan sekadar lubang besar di tanah belakang rumah, melainkan telah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah meja atau bangku di halaman rumah yang dapat digunakan untuk nongkrong atau bercengkerama satu sama lain. Mereka pun tidak sadar jika di bawahnya terdapat lubang sebagai tempat membuat sampah organik menjadi kompos sehingga tidak merasa kotor atau jijik.
 

Proses pembuatan 

Santi memaparkan bahwa sebanyak 60 hingga 70 persen sampah organik dari sisa makanan, sayur-sayuran, buah yang membusuk, dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos yang diletakkan di dalam Teba Modern.

Inovasi ini pertama kali dirancang oleh Desa Adat Cemenggaon yang kemudian mulai berkembang ke sejumlah sekolah maupun desa yang berada di Bali. Meskipun belum masif dan merata di seluruh Indonesia, Santi dan kawan-kawan pegiat lingkungan tetap optimistis akan dapat menanggulangi sampah organik dengan cara tersebut.

Hal pertama yang harus dilakukan pada pembuatan Teba Modern adalah dengan menggali lubang biopori sedalam dua hingga 2,5 meter. Kedalaman tersebut sudah paten dan tidak dapat diubah.

Ya, hal ini karena Teba Modern memanfaatkan bakteri untuk mempercepat proses penguraian sampah organik. Jika hal tersebut tidak dilakukan dengan benar, hal itu menyebabkan bakteri kesulitan menguraikan sampah karena tingkat keasaman yang tinggi dan oksigen tidak dapat menjangkau proses pengolahannya sehingga sampah tidak akan terurai menjadi pupuk,” urai Santi.

Pegiat lingkungan lainnya,  Krishna Sindhu, juga turut menjelaskan terkait dengan pembuatan Teba Modern.

Ia merinci bentuk Teba Modern yakni kedalaman yang diperlukan adalah 2,5 meter dengan lebar minimal satu meter. Buisnya dari kedalaman tanah itu hanya satu meter, dan 1,5 meter di bawahnya adalah tanah.

Setelah proses penggalian lubang, sebenarnya Teba Modern dapat dibentuk sesuai dengan keadaan yang berlaku. Mereka menyatakan ketika luas rumah atau bangunan yang akan dibuatkan Teba Modern cenderung sempit, maka disarankan untuk membuat Teba Modern yang menyatu dengan tanah. Jika luas halaman luas, maka dapat dibuatkan dalam bentuk yang bervariasi, seperti dibuat menjadi meja dan bangku, atau hal lainnya sesuai keinginan.

Sejumlah siswa dengan dibimbing guru dan aktivis lingkungan menggali lubang untuk "Teba Modern" di halaman SMK Negeri 1 Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. ANTARA/HO-DOk Krishna Sindhu.

Manfaat 

Banyak manfaat yang dapat dirasakan atas keberadaan Teba Modern ini. Salah satu warga yang telah menerapkan sistem Teba Modern ini Komang Asti, ibu rumah tangga.

Asti menuturkan bahwa banyak manfaat yang telah didapatnya setelah membuat Teba Modern ini. Pupuk kompos dari sampah organik tersebut dapat dipanen 6 bulan hingga 1 tahun sekali. Kemudian, pupuk kompos tersebut dapat dijual atau dipakai sendiri untuk menyuburkan tanaman di kebun.

Pemanfaatan Teba Modern yang lainnya adalah ketika hujan deras terjadi, rumah saya tidak pernah tergenang air. Cukup buka saja tutup dari Teba Modern tersebut dan air hujan akan terserap ke lubang biopori, sehingga air akan masuk ke tanah kembali dan dapat membuat cadangan air di tanah. Hal ini tentunya dapat membantu Ibu Pertiwi  dari bahaya kekeringan,” ujar Asti.

Oleh karena itu para pengusaha, baik rumah makan ataupun industri, diharapkan dapat memanfaatkan sistem ini karena dapat membantu Bumi dari momok permasalahan sampah.

Jika semua terkendali maka Bumi yang asri dan perubahan iklim yang ekstrem dapat dikendalikan. Asti juga turut berharap  masyarakat senantiasa memiliki niat yang besar untuk menjaga Bumi.


Penggiat lingkungan I Wayan Santi Adnyana memeriksa timbunan sampah organik yang berada di dalam meja "Teba Modern" buatannya di halaman belakang SD Sathya Sai, Kota Denpasar, Bali, Selasa (18/4/2023). ANTARA/Putu Shinta Aiswarya/wsj.
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023