Kami tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika kawasan ini tidak memiliki ASEAN,
Jakarta (ANTARA) - Rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) resmi dimulai di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Selasa (9/5).

Ketika memimpin Pertemuan Para Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM), Menlu Indonesia Retno Marsudi mengatakan bahwa penguatan fondasi organisasi menjadi penting dalam membangun masyarakat ASEAN.

Penguatan fondasi, kapasitas, dan visi ASEAN menjadi isu prioritas yang akan dibahas Indonesia dalam keketuaan tahun ini dengan mengusung tema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth, yang bermakna ASEAN relevan dan penting sebagai pusat pertumbuhan dunia.

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh menlu dari enam negara anggota ASEAN yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, dan Kamboja itu juga dibahas aksesi negara-negara di luar kawasan yang ingin menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC).

Tahun ini, ASEAN sedang mengoordinasikan kesiapan tiga negara yakni Arab Saudi, Panama, dan Spanyol yang mengajukan diri untuk menjadi mitra dan menandatangani traktat tersebut.

Selanjutnya, para menlu mendiskusikan kelanjutan implementasi Konsensus Lima Poin ASEAN untuk membantu menyelesaikan krisis Myanmar serta implementasi Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP).

Retno mengatakan bahwa isu-isu tersebut penting sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.

“Kami tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika kawasan ini tidak memiliki ASEAN,” ujar Retno.

“Namun, kita tidak dapat berpuas diri. Pencapaian ini harus menjadi aset untuk membangun ASEAN yang lebih kuat, ASEAN yang lebih relevan,” tutur dia.

Di bawah Keketuaan Indonesia, KTT Ke-42 ASEAN diharapkan menghasilkan sejumlah dokumen terkait Visi ASEAN pasca-2025, penguatan kapasitas ASEAN, dan keanggotaan penuh Timor Leste.

Untuk kali pertama, pada tahun ini, Timor Leste berpartisipasi dalam KTT ASEAN setelah negara itu diterima secara prinsip sebagai anggota ke-11 perhimpunan tersebut.

Dalam pertemuan para menlu ASEAN dan pertemuan Dewan Koordinasi ASEAN (ACC), Timor Leste diwakili oleh Menlu Adalijza Magno, sementara pada pertemuan puncak yang akan diselenggarakan pada 10-11 Mei, Perdana Menteri Timor Leste Taur Matan Ruak akan 1berpartisipasi.

Menurut Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto Suryodipuro, jika ACC mengesahkan peta jalan keanggotaan Timor Leste pada pertemuan kali ini, pembahasan selanjutnya akan dibawa dalam KTT untuk kemudian diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN.

“(ACC) akan mengidentifikasi hal-hal yang harus dipenuhi Timor Leste untuk diterima sebagai anggota penuh ASEAN,” kata Sidharto.

Sementara itu, Myanmar masih absen dalam pertemuan tahun ini menyusul keputusan ASEAN untuk tetap mengecualikan negara tersebut dalam berbagai pertemuan tingkat tinggi ASEAN—berkaitan dengan krisis politik yang dipicu kudeta militer di Myanmar sejak Februari 2021.

Keputusan ASEAN untuk tidak mengundang perwakilan politik Myanmar dilatarbelakangi kegagalan junta dalam menerapkan Konsensus Lima Poin, yang di antaranya menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pihak terkait, dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke Myanmar.


Kerja sama teknologi, ekonomi

Bersamaan dengan pembukaan rangkaian KTT ke-42 ASEAN, Indonesia melalui lembaga National Center for Sustainable Transportation Technology (NCSTT) menandatangani kontrak kerja sama dalam bidang pengembangan teknologi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dengan enam asosiasi dari empat negara di ASEAN.

Dalam konferensi ASEAN Battery and Electric Vehicle Technology Conference (ABEVTC), yang diselenggarakan di kawasan Nusa Dua, Bali itu, nota kesepakatan ditandatangani Indonesia dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Adapun keenam asosiasi tersebut adalah Singapore Batter Consortium (SBC), Thailand Energy Storage Technology Association (TESTA), NanoMalaysia Berhad, dan Electric Vehicle Association of the Philippines (EVAP), serta dua lembaga nasional NCSTT, dan National Battery Research Institute (NBRI).

“Nota kesepakatan ini untuk melakukan riset bersama mengenai teknologi baterai EV di Indonesia, kita berharap dapat bekerja sama dengan peneliti lain di kawasan ASEAN, mendukung industri baterai yang ada di negara masing-masing,” ujar Direktur NCSTT Leonardo Gunawan.

Menurut dia, nota kesepakatan itu bertujuan membuka peluang kolaborasi penelitian dan pengembangan di bidang teknologi baterai EV dan mempromosikan ekosistem baterai di ASEAN menuju sistem transportasi yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan.

Selain itu, Leonardo mengatakan kolaborasi ini bertujuan untuk memajukan teknologi baterai termasuk dalam hal keselamatan dan standarisasi.

“Dengan ini kami berharap bisa membuat standar yang sama di kawasan ASEAN sehingga baterainya dapat dipertukarkan, bisa dipakai untuk kendaraan-kendaraan yang serupa, sehingga tiap industri otomotif EV tidak membuat baterai versi sendiri-sendiri, nah ini kalau bisa diseragamkan akan lebih terintegrasi,” tutur Leonardo.

Lebih lanjut, ia menyebut hingga saat ini, belum ada standarisasi yang menyeragamkan baterai pada kendaraan listrik di kawasan ASEAN, bahkan global. Hal ini, menurutnya, berdampak pada tingkat kepercayaan calon konsumen kendaraan listrik.

“Mestinya memang global mengarah pada standar baterai EV yang seragam, industri pasti butuh standarisasi sehingga konsumen akan tenang membeli produknya karena ada jaminan bahwa komponen yang dibutuhkan pasti bisa didukung oleh supplier lain,” kata Leonardo.

Pada kesempatan yang sama, Manajer Kemitraan NCSTT Bentang Arief Budiman mengatakan bahwa kolaborasi berbagai negara ASEAN ini juga bertujuan untuk lebih mematangkan teknologi baterai EV.

“Baterai EV itu teknologinya belum selesai, belum matang, karena densitas energi yang masih rendah, kita sedang berlomba-lomba bagaimana agar densitas energinya tinggi, minimal setara dengan mesin pembakaran internal dan kalau bisa pengisian dayanya juga cepat tidak berjam-jam,” kata dia.

Pertemuan mengenai teknologi baterai EV pertama di ASEAN yang diselenggarakan hingga Kamis (11/5), diharapkan mampu menciptakan berbagai peluang baru, gagasan-gagasan inovatif, dan pertukaran pengetahuan di antara para profesional, akademisi, dan pembuat kebijakan dari negara-negara ASEAN.

Di Indonesia, inkubasi riset dan penelitian mengenai baterai tersebut akan dilaksanakan di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sedangkan bidang ekonomi, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mengatakan ekonomi digital dan ekosistem keuangan Indonesia dan negara-negara ASEAN memiliki potensi yang positif.

Potensi tersebut tercermin dari kerja sama bank sentral di wilayah ASEAN-5, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, untuk sistem pembayaran regional atau ASEAN Payment Connectivity (APC) yang dimulai sejak 2022.

“Saat ini, kami juga telah bergerak dengan inisiatif konkret, seperti pembayaran cepat quick response (QR) di antara lima negara dan akan membawa langkah konkret dari Asia ke dunia,” kata Filianingsih di Jakarta, Selasa.

Meskipun begitu, ia tak menampik masih ada tantangan serta risiko yang perlu dihadapi oleh ekosistem ekonomi digital dan keuangan ASEAN.

Dia menyebut sedikitnya ada lima tantangan dan risiko dalam upaya kerja sama sistem pembayaran lintas negara.

Tantangan tersebut yaitu pertama, perbedaan regulasi di tiap-tiap negara; kedua, variasi bisnis model dan proses yang berbeda di tiap negara; ketiga, perbedaan spesifikasi pembayaran cepat; keempat, timbal balik dari tiap-tiap negara; serta terakhir, modal pengembangan yang relatif memakan biaya besar.

Filianingsih menjelaskan perlu adanya sinergi antara otoritas terkait dan pelaku industri pembayaran untuk mendukung pengembangan kerja sama sistem pembayaran lintas negara.

Otoritas yang berwenang perlu berkomitmen dan siap mendukung strategi dan inisiatif ekonomi lintas negara agar kerja sama dapat terimplementasi dengan baik.

Di sisi lain, pelaku industri juga harus siap menangkap peluang dan menciptakan inovasi lintas negara, baik dari segi produk maupun layanan.

Dengan begitu, tahun ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperkuat sinergi kebijakan dan memfasilitasi kolaborasi demi keberlanjutan ekonomi digital.

“Rencana akan sia-sia kalau tanpa tindakan. Butuh adanya implementasi nyata dari pelaku industri dan regulator untuk bersinergi dan berinovasi sehingga dapat mempercepat transformasi ekonomi digital,” ujar Filianingsih.



Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023