Begitulah China dengan segala kekuatannya dalam menyikapi aksi negara-negara lain yang merugikan kepentingannya
Beijing (ANTARA) - Kalau vaksin menjadi isu utama percaturan global pada masa pandemi COVID-19, maka semikonduktor bakal menggantikannya pada era pasca-pandemi.

Rivalitas antara China dan Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya bakal akan terus bergulir meskipun era pandemi segera berakhir.

Tentu saja China dan Amerika Serikat sudah tidak lagi mengklaim siapa yang terbaik dalam mengembangkan vaksin COVID-19 dengan menonjolkan tingkat efikasinya masing-masing.

Terlebih ketika China mencabut pembatasan-pembatasan pergerakan sosial secara bertahap setelah Xi Jinping untuk kali ketiga memimpin Partai Komunis sekaligus mengepalai sebuah negara berpenduduk terbesar di dunia, persaingan di pasar vaksin global secara otomatis bakal ditinggalkan.

Pandemi telah membuktikan China sebagai negara yang berhasil menancapkan kuku pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia melalui vaksin yang dikembangkan secara mandiri oleh perusahaan besar dalam negeri macam Sinopharm dan Sinovac.

Meskipun Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya berupaya membendung dengan vaksin-vaksin berbasis mRNA, China tetap unggul dengan vaksin inaktifnya itu, setidaknya dalam segi jangkauan.

Lanskap persaingan antara dua kutub ekonomi terbesar dunia telah berubah.

Bagi Amerika Serikat dan sekutunya, semikonduktor bisa saja menjadi senjata pamungkas untuk membendung pengaruh China.

Negara adidaya itu bersama sekutunya sangat yakin upaya membendung pengaruh China melalui pembatasan ekspor bahan kimia atau komponen semikonduktor lainnya akan berjalan efektif.

Namun, sebelum lebih jauh masuk dalam membahas isu ini, alangkah baiknya perlu memahami semikonduktor terlebih dulu.

Semikonduktor adalah zat setengah penghantar listrik yang cara kerjanya pun sangat sederhana.

Komponen berbahan metal ini bisa memproses tegangan listrik menjadi arus untuk mencapai temperatur tertentu.

Semikonduktor memiliki tiga fungsi, yakni mengaktifkan dan menonaktifkan sekring listrik; mengonversi arus bolak-balik (AC) menjadi arus searah (DC) dan sebaliknya; dan mengontrol tegangan, arus, dan daya listrik.

Ketiga fungsi tersebut sangat berguna agar listrik bisa menyala dan bekerja secara maksimal.

Bila disimpulkan, seseorang tidak perlu mencari komponen lain untuk memenuhi kebutuhan kelistrikan selama komponen tersebut telah terpenuhi.

Semikonduktor ini sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern karena komponen cip ada di dalam telepon seluler, komputer, kendaraan bermotor, dan perangkat lainnya.

Bahkan di sepeda motor matic, cip semikonduktor ini ditanamkan untuk membentuk engine control unit (ECU) yang berfungsi sebagai pengatur injeksi bahan bakar.

Ironisnya, meskipun tidak terlibat secara langsung dalam persaingan tersebut, Indonesia sempat terdampak pembatasan ekspor semikonduktor. Daftar antrean panjang pembelian sepeda motor dan mobil baru belum lama ini merupakan fenomena dari kelangkaan semikonduktor yang menimpa beberapa jenama (merek) ternama industri otomotif di Indonesia.


Uji Kekuatan

Pada tahun lalu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani perintah eksekutif berupa CHIPS and Science Act, sebuah kebijakan industri bernilai 52,7 miliar dolar AS yang bertujuan untuk mendukung penelitian, meningkatkan ketahanan rantai pasokan, dan merevitalisasi produksi semikonduktor dalam negerinya.

Sebenarnya China yang menjadi sasaran karena kebijakan Biden tersebut lantaran di dalamnya berisi larangan terhadap perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang semikonduktor, kecerdasan artifisial (AI), serta komputasi kuantum mengekspor dan melakukan investasi ke negara rivalnya itu.

Amerika Serikat tidak sendirian karena juga menggalang kekuatan negara-negara lain yang memiliki keunggulan di bidang industri tersebut agar turut serta membatasi ekspornya ke China.

Belanda, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang masuk dalam daftar negara yang cepat atau lambat bakal mengimplementasikan aturan serupa sesuai ajakan Amerika Serikat itu.

Taiwan, bahkan otoritas setempat menjatuhkan sanksi denda sebesar 10 juta dolar NT atau sekitar Rp4,9 miliar terhadap Hon Hai Precision Industry Co Ltd (Foxconn) karena melakukan akuisisi tidak langsung atas 8,23 persen saham perusahaan China Tsinghua Unigroup.

Denda tersebut lebih kecil dari sanksi semula sebesar 25 juta dolar NT (Rp12,4 miliar) karena Foxconn akhirnya bersedia melepas kembali saham Tsinghua Unigroup setelah kesulitan mendapatkan proses persetujuan dari otoritas Taiwan.

Dikeroyok sejumlah negara yang dipelopori oleh Amerika Serikat, tentu saja China meradang. Ancaman akan melakukan tindakan balasan terus ditebar. Begitulah China dengan segala kekuatannya dalam menyikapi aksi negara-negara lain yang merugikan kepentingan dirinya sendiri.

China sendiri bukan berarti tidak mandiri dalam bidang semikonduktor. Namun, skalanya masih sangat kecil karena sebagaimana data Asosiasi Industri Mobil China (CAAM), hingga 2021 swasembada semikonduktor untuk kendaraan listrik di China masih kurang dari 5 persen kebutuhan.

Padahal produksi dan penjualan kendaraan listrik China teratas di dunia dalam 8 tahun berturut-turut. Pada 2022 saja China telah menjual 6,89 juta kendaraan listrik atau tumbuh 93,4 persen dibandingkan total pencapaian tahun 2021.

Pada 2030, cip semikonduktor akan memakan lebih dari 20 persen dari total biaya material mobil listrik kelas atas atau meningkat lima kali lipat dibandingkan tahun 2019.

Pada tahun itu pula, biaya perangkat lunak untuk mobil pintar akan mencapai 60 persen dari keseluruhan biaya produksi. Saat ini baru mencapai 15 persen.

Dengan begitu, maka pembatasan ekspor semikonduktor tersebut bakal berpengaruh terhadap beberapa sektor industri di China. Namun sesignifikan apa pengaruhnya, hanya waktu yang bisa menentukan karena di situlah letak dari ketahanan setiap kebergantungan.

Sekarang saja, kalangan industri semikonduktor di Amerika Serikat sudah mulai kegerahan dan tidak tahan dengan kebijakan restriktif dan protektif ala Biden tersebut. Apalagi Presiden Asosiasi Industri Semikonduktor Amerika Serikat (SIA) John Neuffer telah menyampaikan keinginannya untuk tetap bisa mendapatkan akses pasar ke China.

Di tengah tingginya kekhawatiran Washington, SIA ngotot ingin tetap bermain di pasar terbesarnya, yaitu China, yang tidak hanya terbesar dalam ukuran konsumsi global, tapi juga sangat menggiurkan bagi para pelaku industri di Amerika Serikat.

Tidak mudah memang bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengucilkan China dari urusan semikonduktor ini karena jika tidak dilakukan secara cermat justru bisa menjadi bumerang.

Amerika Serikat dan sekutunya tidak saja khawatir terhadap China yang sedang mengembangkan semikonduktor lebih canggih lagi untuk kepentingan program modernisasi militer dalam beberapa tahun ke depan sehingga ekspor komponen dan bahan kimia sebagai material pendukung perlu dibatasi.

Jika tidak, maka Amerika Serikat dan sekutunya akan kehilangan momentum seperti halnya ketika mereka harus mengakui keunggulan China dalam menguasai jaringan telekomunikasi generasi ke-5 (5G) secara global, bahkan kini telah menyiapkan 6G.

Padahal mereka sebelumnya telah mendominasi teknologi tersebut, setidaknya sampai 4G.


Editor: Achmad Zaenal M


 

Copyright © ANTARA 2023