Dalam beberapa tahun terakhir kita mengalami perubahan yang begitu cepat, utamanya di bidang kesehatan, ekonomi lumpuh, dan pendidikan jatuh, untuk itu penting bagi kita untuk memperjuangkan pendidikan inklusif sepanjang hayat sebagai kunci dari merd
Jakarta (ANTARA) -
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB) Universitas Trunojoyo, Madura, Jawa Timur,  Bima Kurniawan menyatakan bahwa pendidikan inklusif sepanjang hayat adalah kunci mewujudkan kurikulum merdeka belajar.
 
“Dalam beberapa tahun terakhir kita mengalami perubahan yang begitu cepat, utamanya di bidang kesehatan, ekonomi lumpuh, dan pendidikan jatuh, untuk itu penting bagi kita untuk memperjuangkan pendidikan inklusif sepanjang hayat sebagai kunci dari merdeka belajar,” katanya pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Sabtu.

Webinar dengan tema “Peluang Pengembangan Profesionalitas dan Pengembangan Jenjang Karir bagi Guru dengan Hambatan Penglihatan di Era Merdeka Belajar” digelar oleh Ikatan Guru Tunanetra Indonesia (IGTI) dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap 2 Mei.

Adapun konsep pendidikan inklusif sepanjang hayat yang dimaksud, kata dia, yakni pendidikan yang fokus pada pengembangan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang berlangsung sepanjang rentang usia individu.
 
Sedangkan hakikat utama dari merdeka belajar adalah guru dan siswa yang kolaboratif dalam proses pembelajaran, guru dan siswa saling berpartisipasi dalam proses pemikiran dan saling mempengaruhi, serta bersama-sama merancang program dan mempertimbangkan pendapat semua pihak demi pengambilan keputusan yang adil.
 
“Jika pendidikan sudah dapat mengintegrasikan empat nilai yakni pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, yang juga berpegang teguh pada prinsip pendidikan inklusif yakni pengakuan, kehadiran, partisipasi, dan prestasi atau pencapaian, maka prinsip merdeka belajar dapat tercapai,” katanya.
 
Ia memaparkan hakikat merdeka belajar juga sebenarnya telah diajarkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia dari belenggu keterbatasan lahiriah dan batiniah, yakni berpikir kritis, eksplorasi nilai dan etika, serta menghargai perspektif dan hak asasi manusia lainnya.
 
“Kalau membebaskan manusia dari keterbatasan lahiriah seperti kemiskinan dan kebodohan, ini aspek pengetahuan dan keterampilan saja, jika sudah mampu mendorong anak didik untuk berpikir kritis dan eksplorasi nilai, itu artinya sudah ada unsur nilai dan sikap,” katanya.
 
“Jadi untuk menciptakan pendidikan inklusif dan merdeka belajar, guru harus bersikap demokratis dan siswa juga harus bisa berkompromi, jadi ada komunikasi dua arah. Selain itu juga harus ada akses, relevansi, fleksibilitas, dan kolaborasi dalam mendukung pendidikan inklusif sepanjang hayat sebagai investasi bagi pengembangan individu dan masyarakat,” demikian Bima Kurniawan.

Baca juga: Pendidikan inklusif anak penyandang disabilitas temui kendala

Baca juga: Dosen UNJ: Lingkungan belajar yang inklusif miliki banyak manfaat

Baca juga: Lingkungan belajar inklusif harus dimulai sejak PAUD

Baca juga: UNESCO laporkan target pendidikan inklusif 2030 sulit tercapai


 

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023