Padang (ANTARA) - Minangkabau merupakan satu dari ribuan suku yang ada di Tanah Air. Suku ini pada umumnya mendiami Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Sumatera Barat. Kendati demikian, bisa dikatakan orang Minangkabau atau disingkat menjadi Minang dapat ditemui dimana saja, termasuk di luar negeri.

Budaya merantau sudah menjadi ciri khas yang melekat pada suku tersebut. Tradisi merantau pun sejalan dengan pepatah "karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun". Secara sederhana, pepatah tersebut bermakna, "Jika di kampung halaman belum bisa berbuat banyak untuk orang sekitar, maka sebaiknya pergi merantau".

Dari sekian banyak budaya yang dimiliki Suku Minangkabau, pakaian merupakan salah satu bentuk identitas etnik tersebut. Sebab, pakaian adat maupun pakaian pengantin yang digunakan oleh laki-laki maupun perempuan Minang memiliki pakem atau aturan tertentu yang harus dipahami si pemakai.

Akademisi sekaligus tokoh adat Minangkabau (Bundo Kanduang) Prof Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib mengatakan ia bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat telah menginventarisir atau mendata setidaknya 406 pakaian adat maupun pakaian pengantin khusus perempuan di setiap nagari (desa).

Ke-406 macam pakaian adat maupun pakaian pengantin tersebut tidak satupun ditemui pakaian yang menerawang (tembus pandang), ketat, menyerupai pakaian laki-laki, apalagi membuka aurat.

Kemudian dari ratusan pakaian adat dan pakaian pengantin yang diinventarisir oleh pewaris Kerajaan Pagaruyuang tersebut, didapati kesimpulan penting bahwa perempuan Minangkabau adalah orang yang hidupnya makmur.

Cerminan kehidupan yang makmur tersebut setidaknya dapat dilihat dari aneka pernak-pernik atau hiasan pakaian yang terbuat dari emas murni. Bahkan, di suatu nagari (desa) Puti Reno menjumpai pakaian perempuan Minang yang dihiasi emas murni dalam jumlah banyak.

Pada saat mendata pakaian tersebut tim Dinas Kebudayaan Sumatera Barat bersama Bundo Kanduang Sumbar itu harus meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) untuk pengawalannya.

"Dari pakaian itu dapat kita lihat bahwa perempuan Minang itu dihormati," ujar Puti Reno, dengan nama pena Upita Agustine, yang juga guru besar di Universitas Andalas tersebut dalam perbincangan dengan ANTARA.

Selain melambangkan kemakmuran serta bentuk penghormatan, pakaian perempuan Minangkabau juga mengisyaratkan bahwa perempuan Minang adalah sosok kreatif. Sebab, dari ratusan pakaian yang ada tidak satu pun yang sama.

Antara satu pakaian dengan pakaian lain akan dibedakan dari beberapa komponen, misalnya kain kodek yang dikenakan. Kodek bisa menggunakan kain sarung, batik maupun songket. Perbedaan lainnya juga dapat dilihat dari tutup kepala hingga kain sandang yang dikenakan.

Variasi pakaian perempuan Minangkabau juga terlihat jelas pada penutup kepala yang digunakannya saat menghadiri suatu kegiatan adat.

Sebagai contoh, suntiang (sunting) yang digunakan pengantin perempuan Minangkabau sejatinya berasal dari daerah pesisir. Sementara, di daerah-daerah lainnya pakaian pengantin tersebut sangat elegan dan etnik.

Seiring kemajuan zaman turut menggeser nilai-nilai yang terdapat dalam pakaian adat perempuan Minangkabau. Kini, tak jarang pakaian pengantin yang digunakan saat resepsi pernikahan sudah dimodifikasi. Padahal, pakaian adat maupun pakaian pengantin merupakan cerminan identitas dari Suku Minangkabau.
Bundo Kanduang Sumatera Barat Prof Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib saat diwawancarai beberapa waktu lalu. (ANTARA/Muhammad Zulfikar).

Salah kaprah

Karena pengaruh zaman, saat ini cukup banyak perempuan Minang yang salah kaprah mengenakan pakaian adat, utamanya saat mengenakan pakaian pengantin.

Pada prinsipnya pakaian Minangkabau, pakaian adat, atau pakaian pengantin ialah menutup aurat. Namun, saat ini banyak pakaian pengantin menggunakan suntiang, tetapi tidak menutup aurat.

"Saya melihat itu bukan pakaian Minangkabau tapi pakaian orang modern," kata penulis Matrilineal System in Minangkabau Culture tersebut.

Selain itu, penting untuk diketahui bahwa pakaian perempuan Minangkabau tidak mengacu atau mengikuti suaminya, melainkan merujuk kepada daerah asalnya.

Sebagai contoh, seorang perempuan Minang asal Kabupaten Tanah Datar ketika mengikuti kegiatan adat, maka seyogianya menggunakan Pandai Sikek, Padang Magek, Sungayang, Sumaniak, Lintau atau daerah lainnya, sesuai nagari asalnya.

Namun tak jarang masih banyak perempuan Minang salah kaprah menggunakan pakaian dengan mengikuti pakaian daerah asal suaminya. Padahal, dalam kedudukannya, perempuan berdiri sendiri atau tidak mengacu pada suami.

Setiap pakaian yang digunakan memiliki aturan tersendiri. Pertama, dilihat dari fungsinya akan diketahui kedudukan orang yang mengenakannya. Kedua, pakaian yang digunakan juga harus menyesuaikan acara yang dihadiri, dan terakhir pakaian juga harus menyesuaikan umur pemakainya.

Terkait pelestarian pakaian adat Minangkabau, sejauh ini pemerintah daerah dinilai sudah cukup baik dalam melestarikannya salah satunya melalui organisasi ibu-ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK).

Organisasi PKK di beberapa daerah diketahui memiliki pakaian sampingan, seperti Baju Kuruang Basiba pada kegiatan tertentu. Tak hanya itu, di tataran aparatur sipil negara (ASN) terdapat pengaturan penggunaan baju yang meliputi baju Muslim dan pakaian Minangkabau.

Di ranah pendidikan, para siswa di Sumbar juga mengenakan Baju Kuruang yang dipadukan dengan tutup kepala. Hal itu berkaitan erat dengan pedoman hidup orang Minangkabau yang menjadikan agama sebagai rujukan sendi-sendi kehidupan.

Tak hanya pakaian perempuan, sastrawati, budayawati dan akademisi Tanah Minang tersebut juga menyentil pakaian penghulu yang digunakan kaum laki-laki sudah banyak tidak sebagaimana peruntukannya.

Kini, banyak laki-laki Minangkabau yang tidak bisa membedakan antara pakaian penghulu dengan pakaian marapulai (pengantin laki-laki) atau dengan pakaian anak randai.

Imbasnya, pakaian yang pada dasarnya adalah sebuah identitas dan kebanggaan tadi menjadi kacau akibat ketidaktahuan dan ketidakpahaman perempuan maupun laki-laki Minang dalam mengenakannya.

Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan tentang pakaian adat maupun pakaian pengantin tersebut penting untuk terus dikenalkan atau diberikan pemahaman kepada masyarakat terlebih lagi bagi generasi muda.

Sebab, bagaimanapun juga salah satu jendela kecil untuk melihat Minangkabau yang sesungguhnya ialah dari pakaian yang dikenakan masyarakatnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar Syaifullah mengatakan pemerintah daerah telah menerbitkan sebuah buku yang berisikan tentang penggunaan baju adat Minangkabau.

Secara umum, buku tersebut menjelaskan ratusan macam atau jenis pakaian adat Minangkabau, makna, serta filosofis yang terkandung dalam setiap pakaian. Selain kepada dinas kebudayaan kabupaten dan kota, buku itu juga diberikan kepada pengurus Bundo Kanduang di 19 kabupaten dan kota di Sumbar.

Melalui buku, bimbingan teknis, sosialisasi serta diskusi kebudayaan yang telah dilakukan masyarakat khususnya masyarakat Minangkabau memahami arti penting dari pakaian adat yang turut menjadi identitas suku tersebut.

Upaya yang dilakukan pemerintah daerah bersama Bundo Kanduang, tokoh adat dan pemangku kepentingan lainnya bertujuan agar tidak ada lagi masyarakat baik perempuan maupun laki-laki Minangkabau yang salah kaprah dalam mengenakan baju adat.

"Melalui buku itu masyarakat lebih tahu kapan baju ini digunakan dan tidak sembarangan," ujarnya.

Selain itu, hal tersebut juga bertujuan agar masyarakat baik di Ranah Minang maupun di perantauan tidak mengubah atau memodifikasi baju-baju adat terutama baju pengantin apalagi sampai menghilangkan keaslian pakaian itu.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023