Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengajak masyarakat untuk mengimplementasikan makna halal bihalal sebagai pemersatu perbedaan dalam konteks menuju tahun politik saat ini.

"Jadi mari kita menggunakan momen yang namanya halal bihalal untuk menyatukan masyarakat kita di tahun politik ini,” kata Arsul dalam acara Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Halal bihalal Mampu Memperkuat Rasa Kebangsaan” di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Mendekati Pemilu 2024, kata dia, nuansa perilaku yang disebutnya 'haram biharam' kerap berseliweran di tengah masyarakat, terutama di media sosial seperti WhatsApp.

“(Konten) yang diangkat itu adalah hal yang negatif, hal yang dipersepsikan jelek tentang capres lainnya yang dia tidak dukung. Itulah yang saya sebut mengapa sekarang ini dan saya kira dalam beberapa bulan ke depan, masih akan terus tumbuh situasi ‘haram biharam’,” tuturnya.

Baca juga: PPP: Kalau capresnya beda KIB bubar dengan sendirinya

Untuk itu, dia menyebut sudah saatnya semangat halal bihalal diterapkan untuk menjaga keutuhan bangsa, terutama di akar rumput. "Inilah tugas para elit politik agar makna halal bihalal menyentuh akar rumput, namun agar lebih kuat memang harus dibantu oleh media," imbuhnya.

Arsul mengingatkan bahwa kompetisi dengan berbagai bentuknya merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan wajar di dalam kontestasi 2024 sehingga dengan semangat halal bihalal diharapkan situasi kompetisi itu dapat terjaga dan tidak berkembang menjadi di luar batas.

“Diharapkan seluruh anak bangsa bisa menjaga situasi kompetisi itu sehingga tidak akan terjadi di luar batas atau 'over' dosis,” ujarnya.

Baca juga: Arsul: DPR perlu segera bahas RUU Perampasan Aset sesuai mekanisme

Ia menjelaskan bahwa halal bihalal sebagai sebuah kegiatan silaturahim masyarakat Islam di Indonesia selepas bulan suci Ramadhan memiliki makna yang sangat kuat untuk menyatukan dan mempererat hubungan sosial masyarakat secara luas.

Dalam sejarahnya, ujarnya, halal bihalal sebagai sebuah tradisi ternyata diciptakan oleh salah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Chasbullah yang dilatari karena KH Abdul Wahab Chasbullah ingin mengumpulkan para alim ulama dan kiai yang berikhtikaf atau sedang berbeda pendapat.

"Akibatnya, perbedaan pendapat itu terus terpelihara dan berpengaruh kepada masing-masing pengikutnya. Untuk mengakhiri ini, KH Abdul Wahab Chasbullah menciptakan suatu bentuk silaturahim dengan istilah baru halal bihalal. Dengan itu, para ulama dan kiai bisa duduk bersama dan saling mengerti, memahami, dan saling menghalalkan," jelasnya.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menambahkan bahwa halal bihalal dapat semakin mendekatkan hubungan antarsesama dan membangun rasa saling percaya antarumat di tengah tahun politik saat ini.

“Meskipun tahun ini adalah tahun politik, tidak mengurangi niat untuk tetap mempererat hubungan persaudaraan dengan sesama agar harmoni masyarakat dapat tercipta,” ujarnya.

Menurut dia, halal bihalal harus mampu diwujudkan sebagai sarana dan wahana bersama untuk merealisasikan, memupuk, mempertahankan, dan bahkan meningkatkan rasa kebangsaan.

"Halal bihalal ini akan sangat bermakna bila dilakukan sebagai arena silaturahim yang tidak hanya sekadar menjadi ajang saling memaafkan, tapi lebih dari itu merupakan refleksi konkret, rasa persatuan nasional, dan kesadaran saling membutuhkan sebagai makhluk sosial," katanya.

Dia menyebut bahwa halal bihalal yang berupa saling mengunjungi saudara atau kerabat untuk bermaaf-maafan dan menjaga hubungan antarsesama itu merupakan suatu tradisi khas asal Indonesia.

“Karena itu halal bihalal dimaknai sebagai satu contoh integrasi bangsa,” ucap dia.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023