Jakarta (ANTARA) -
Di balik megahnya gedung pencakar langit Jakarta yang didominasi warna abu-abu, ada satu sudut pesisir yang hijau oleh ekosistem mangrove di Muara Angke, Jakarta Utara. Hutan mangrove itu menjadi suaka bagi berbagai jenis flora dan fauna, sekaligus benteng terakhir yang melindungi laut dari kerusakan.
 
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) membuka ruang diskusi sekaligus mengenalkan lebih dalam tentang ekosistem mangrove kepada awak media di Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke pada Kamis (25/5).
 
Kawasan SM Muara Angke hanya memiliki luas 25,02 hektare, menjadi salah satu ekosistem mangrove terkecil di Indonesia, dan merupakan satu-satunya yang tersisa di Jakarta.
 
Ketika datang, pengunjung akan disambut dengan keramahan petugas yang hangat dan tak kenal letih menjelaskan satu-persatu jenis mangrove, flora, juga fauna yang hidup memeriahkan suaka margasatwa itu.
 
Meskipun belum dibuka untuk umum, tetapi BKSDA dan YKAN terus menyosialisasikan pengembangan SM Muara Angke agar lebih dikenal oleh masyarakat Jakarta.
 
Restorasi mangrove di Muara Angke tidak dilakukan dalam waktu satu atau dua hari saja, melainkan melalui kerja sama yang panjang antara BKSDA dan YKAN sejak 2018.
 
Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman menjelaskan bahwa konservasi bakau perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, karena butuh waktu paling sedikit tiga tahun sampai mangrove benar-benar bisa tumbuh sempurna dan bisa menjadi pelindung bagi ekosistem di dalamnya.
 
Salah satu fauna yakni monyet ekor panjang yang habitatnya di SM Muara Angke dan gemar memakan buah pidada, hasil dari salah satu jenis tanaman mangrove (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Mengembalikan keanekaragaman hayati
 
Sebagai sebuah ekosistem, hutan bakau tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon, penyangga pesisir, dan penahan limbah dari hulu agar tak masuk ke laut. Lebih dari itu, hutan bakau turut menyokong hak hidup beragam flora dan fauna yang turut menjaga keanekaragaman hayati, sehingga kawasan pesisir tetap terjaga lestari.
 
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Mufti Ginanjar mengatakan bagi masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya SM Muara Angke menjadi kawasan terpenting penyangga kehidupan.
 
Kawasan itu menjadi rumah bagi delapan spesies mangrove sejati, yang sudah dikelompokkan masing-masing per jenis. BKSDA juga mengupayakan agar hama pengganggu, seperti eceng gondok untuk dibersihkan dengan ekskavator karena akan mengganggu pertumbuhan mangrove.
 
Selain mangrove, tempat itu juga menjadi habitat bagi aneka fauna, seperti buaya air asin, kadal, monyet ekor panjang, ular, serta berbagai jenis burung.
 
Proses restorasi di SM Muara Angke yang sudah berjalan selama lima tahun, meliputi instalasi penghalang sampah di pinggir Sungai Angke, pengendalian tumbuhan invasif, perbaikan hidrologi (kualitas air), hingga penimbunan substrat (permukaan) di area dengan genangan tinggi.
 
Proses restorasi ini mulai memperlihatkan adanya perbaikan ekosistem, karena berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pada Desember 2022-Januari 2023, muncul rekrutmen alami spesies bakau Sonneratia caseolaris, yang buahnya (pidada) disukai oleh spesies monyet ekor panjang, sehingga aman juga untuk dikonsumsi manusia, serta peningkatan spesies burung dan ular.
 
Hasil kajian juga mencatat terdapat 60 jenis burung serta 16 spesies reptil. Artinya, terjadi peningkatan pada masa pascarestorasi, dari 57 spesies di tahun 2021 menjadi 60 spesies burung, dan dari 10 spesis (berdasarkan data pada 2019) menjadi 16 spesies reptil.

Selain itu, ditemukan spesies ular pucuk mata merah, yang merupakan spesies baru dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Ular ini diketahui hanya ada di Vietnam dan belum pernah tercatat di Indonesia.

 
Pengurangan sampah plastik 
 
Penumpukan sampah di wilayah SM Muara Angke masih menjadi permasalahan utama yang mesti diselesaikan.

BKSDA dan YKAN pun gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengurangi sampah plastik, salah satunya dengan menerapkan kebijakan bagi pengunjung yang datang untuk membawa wadah minum sendiri atau tumbler.
 
Mangrove itu di bawahnya ada air dan makhluk hidup yang bisa terganggu karena sampah. Di wilayah perkotaan itu ancamannya tidak pada penebangan, tetapi pada kualitas mangrovenya sendiri. Kita belum punya mekanisme baik untuk mengolah sampah, sehingga banyak sampah yang dibuang di darat itu menumpuk di hutan mangrove, dan akhirnya merusak ekosistemnya.
 
Untuk itu, perlu ada strategi baik dari Pemerintah maupun lembaga terkait untuk menyelamatkan mangrove dari sampah, termasuk salah satunya memasifkan gerakan mengurangi penggunaan sampah plastik.
 
Selain merusak ekosistem mangrove, sampah juga dapat merusak kualitas air, sehingga organisme yang ada di dalam mangrove itu menjadi rusak. Tugas mangrove untuk menahan sampah tentu memiliki batas kapasitas, dan selama ini sudah terlampaui, meskipun secara rutin BKSDA maupun YKAN telah melakukan pembersihan.
 
Oleh karena itu, BKSDA dan YKAN mengajak seluruh masyarakat untuk terlibat aktif mengurangi sampah plastik, karena Pemerintah tentu tidak bisa sendiri dalam menangani masalah sampah ini. Perlu kontribusi dan kerja sama dari masyarakat agar sampah tidak tertumpuk di SM Muara Angke.
 
Produk sirup dan kue kering dari buah pidada, salah satu jenis mangrove, dan batik yang menggunakan pewarna alami dari akar mangrove. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Bernilai ekonomi
 
Selain membantu merawat kawasan konservasi, Karang Taruna Muara Angke rupanya berhasil melihat potensi ekonomi yang bisa dihasilkan dari buah dan akar mangrove.
 
Buah pidada yang merupakan salah satu hasil dari tanaman mangrove bisa dimanfaatkan untuk bahan baku sirup, dan saat ini sudah diproduksi secara mandiri oleh anggota Karang Taruna Muara Angke, Jakarta Utara.
 
Memiliki karakteristik rasa asam dan manis yang khas, buah ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai sirup, tetapi juga sebagai bahan baku selai, kue kering dan dodol.
 
Selain buahnya, bunga dari jenis mangrove ini juga bisa dimanfaatkan sebagai obat diare, bahkan, tak berhenti di situ, akarnya juga telah dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pewarna alami pakaian.
 
Cara pengolahan buah pidada sampai menjadi sirup masih dilakukan secara manual, dan untuk satu botol sirup dihargai Rp 40.000. Sejauh ini, Karang Taruna Muara Angke masih melakukan penjualan dengan pemesanan terlebih dahulu atau lewat order
 
Karang Taruna Muara Angke tidak sendiri, karena BKSDA dan YKAN secara aktif juga terus memberikan pembinaan dan edukasi kepada masyarakat di sekitar kawasan SM Muara Angke bahwa pemanfaatan tanaman bakau tidak terbatas hanya pada kayu, tetapi juga bagian-bagian lain yang apabila dimanfaatkan secara maksimal bisa bernilai jual tinggi.
 
Upaya konservasi bakau agar ekosistemnya benar-benar menjadi suaka bagi seluruh makhluk hidup tentu tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Karena itu perlu kesabaran dan kesadaran masyarakat untuk ikut menjadi bagian dengan mengurangi plastik dan mengenalkan hutan mangrove pada generasi penerus.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023