Semarang (ANTARA) - Dana kampanye hasil gotong royong masyarakat setidaknya mempersempit ruang cukong dan botoh politik pada pesta demokrasi, sekaligus mencegah oligarki dalam pemerintahan pasca-Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Apabila pemerintahan negara berada di tangan beberapa orang atau golongan, arah kebijakan pemerintah atau negara lebih berpotensi pada kepentingan oligarki.

Ada kekhawatiran dana kampanye yang mereka kucurkan berpengaruh pada kemerdekaan pembentuk undang-undang kelak.

Tidak hanya menyelipkan sejumlah pasal ke dalam sebuah peraturan perundang-undangan, bisa jadi latar belakang pembentukan undang-undang tertentu atas keinginan oligarki.

Oleh sebab itu, sepak terjang cukong politik perlu dibatasi oleh semua pemangku kepentingan politik, termasuk masyarakat, dengan memberi dukungan dana kepada mereka yang berlaga di arena pemilu.

Di sinilah perlu kesadaran semua anak bangsa bergotong royong dalam pengumpulan dana kampanye agar negara ini jangan sampai "tergadai". Apalagi, sampai APBN menjadi bagian dari "agunan politik" selama 5 tahun ke depan.

Kesadaran menyumbang secara sukarela dari semua anak bangsa untuk calon wakilnya di parlemen ini sekaligus meminimalkan praktik politik uang pada Pemilu 2024.

Biasanya segelintir calon pemilih sebagai penerima uang dan/atau bentuk barang (sembako dll.) dari oknum caleg. Kali ini masyarakat dengan senang hati memberi dukungan berupa uang dan/atau barang kepada caleg yang mereka anggap amanah, fatanah, sidik, dan tablig.

Jika gotong royong perihal dana kampanye ini sudah menjadi budaya setiap pemilihan umum, akan menghilangkan sedikit demi sedikit praktik politik uang yang mewarnai pesta demokrasi.

Dengan demikian, perlu membuat aturan main lebih ketat untuk menutup celah oligarki menguasai dana kampanye caleg dan pasangan calon presiden/wakil presiden. Aturan kepemiluan ini perlu memuat ketentuan siapa saja yang boleh dan siapa saja yang tidak boleh memberi donasi pada perhelatan pemilu ini.

Saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menggelar uji publik tiga rancangan peraturan KPU, salah satunya Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye Pemilu. (Sumber: ANTARA, Sabtu, 27 Mei 2023)

Karena aturan penahapan Pemilu 2024 masih menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), isi rancangan peraturan KPU tersebut tidak jauh berbeda dengan norma dalam PKPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.

Sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemilu, KPU dalam merevisi PKPU No. 24/2028, bisa pula menambahkan sejumlah norma kekinian, misalnya sumbangan berupa uang elektronik yang berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.

Penerimaan sumbangan dalam bentuk uang elektronik tetap harus masuk rekening khusus dana kampanye dan tercatat dalam pembukuan. Demikian penyataan pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini. (Sumber ANTARA, Senin, 29 Mei 2024)

Penerimaan uang elektronik, yang sebenarnya sama saja dengan metode transfer, memang lebih memudahkan. Bahkan, akuntabilitasnya lebih bisa ditelusuri. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu harus cermat ketika membuat aturan main berupa PKPU soal dana kampanye ini.


Aturan kepemiluan

Dalam penyusunan Rancangan PKPU Dana Kampanye Pemilu, tentunya harus menjaga keharmonisan dengan UU No. 7/2017. Misalnya, terkait dengan dana kampanye Pemilu Presiden/Wakil Presiden (vide Pasal 325).

Dana kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) menjadi tanggung jawab pasangan calon. Dana ini dapat diperoleh dari pasangan calon yang bersangkutan, partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon, dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

Selain itu, dana kampanye Pilpres dapat didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana ini dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa.

Ditegaskan pula dalam Pasal 326 UU Pemilu, dana kampanye yang berasal dari pihak berupa sumbangan yang sah menurut hukum dan bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.

Ketentuan besar kecil sumbangan bergantung pada siapa pemberinya. Dana kampanye yang berasal dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp2,5 miliar.

Begitu pula dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah juga ada batasannya, yakni maksimal Rp25 miliar.

Ditekankan pula oleh UU Pemilu bahwa perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan sumbangan dana harus melaporkan sumbangan tersebut kepada KPU. Mereka harus mencantumkan identitas yang jelas.

Mereka juga bisa memberi sumbangan dana kampanye pemilu anggota legislatif (pileg), baik Pemilu DPR RI, Pemilu DPD RI, pemilu DPRD provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota.

Khusus dana kampanye pileg asal partai politik, didanai dan menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu masing-masing. Adapun sumbernya berasal dari partai politik, caleg dari parpol yang bersangkutan, dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

Ketentuan dalam Pasal 331 UU Pemilu menyebutkan bahwa dana kampanye pileg yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak melebihi Rp2,5 miliar.

Dana yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp25 miliar.

Mereka juga bisa memberikan sumbangan dana kampanye pada Pemilu Anggota DPD RI, baik berupa uang, barang, dan/atau jasa, kepada calon perseorangan paling banyak Rp750 juta.

Sementara itu, dana kampanye pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah tidak melebihi Rp1,5 miliar.

Gerakan pengumpulan uang koin dari masyarakat ini perlu segera dimulai agar caleg atau pasangan calon tidak tersandera oligarki jika kelak mereka terpilih.

*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.

 

Copyright © ANTARA 2023