Jakarta (ANTARA) - Penyanyi Sandhy Sondoro membagikan ceritanya melewati masa sulit ketika peristiwa Mei 1998 di mana saat itu dirinya masih menempuh pendidikan tinggi di Jerman.

Melalui berita yang disiarkan di televisi di Jerman, Sandhy mendapatkan gambaran mengenai keadaan Indonesia terutama di Jakarta saat Mei 1998. Ia mengakui bahwa saat itu dirinya ikut cemas terhadap kondisi Indonesia walaupun berada di luar negeri.

"Tentu saja kita merasa cemas-cemas juga, ya. Pas di sana itu (di luar negeri) orang Indonesia saja (cemas), 'Wah gimana Jakarta ini'," kata Sandhy saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Selasa.

Setelah mantan Presiden RI Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa, Sandhy mengamini bahwa saat itu banyak orang yang merasa senang sekaligus cemas terhadap masa depan nasib Indonesia setelah Reformasi, apalagi saat itu Indonesia dilanda krisis moneter.

"Senang karena akhirnya runtuhnya sebuah kediktatoran yang sudah berkuasa 32 tahun. Tapi, ya, punya perasaan cemas atas future dari negara kita sendiri, bangsa kita," ujar penyanyi yang terkenal menembangkan lagu “Malam Biru” itu.

Pada 1998, Sandhy lulus dari pendidikan arsitektur di Jerman. Mengingat keadaan Jakarta yang belum pulih dari kerusuhan, dia memilih menetap di Jerman dan kemudian merintis karier sebagai musisi lepas.

"Saya sudah lulus kuliah arsitektur. Tadinya mau pulang. Kemudian karena susahnya kerjaan di sini (di Jakarta), ibu saya bilang ‘Kamu stay saja dulu di Jerman’," kenang dia.

Baca juga: LKBN ANTARA gelar pameran foto jurnalistik 25 tahun Reformasi

Pada 1998 hingga beberapa tahun kemudian, Sandhy hanya sesekali pulang ke Indonesia. Mengingat faktor keuangan yang pas-pasan, dia tidak bisa selalu membeli tiket setiap kali mendapatkan pemasukan setelah bekerja.

Walaupun tinggal di luar negeri, ujar dia, bukan berarti para diaspora Indonesia dapat menjalani hidup secara mudah pada masa tersebut.

"Kita semua, tuh, di sana sebenarnya hidupnya pas-pasan, lho. Orang-orang (Indonesia) di Jerman, orang Indonesia yang mungkin kayak sekarang 'Wah enak, ya, hidup di Belanda atau segala macam', (coba) tanya sama mereka, pas-pasan juga kali," kata dia.

Sandhy pun akhirnya merilis album perdana “Why Don't We” pada 2008 di Jerman. Sekitar akhir 2008, dia baru menghabiskan waktu lebih banyak di Indonesia meski hingga saat ini masih kerap bolak-balik ke luar negeri.

Sandhy menjadi bintang tamu di acara peluncuran pameran foto jurnalistik “ANTARA Mei 98” di Pos Bloc, Jakarta. Pada kesempatan tersebut, dia juga ikut menyimak foto-foto karya pewarta foto ANTARA yang merekam momen bersejarah Mei 1998.

"Foto-fotonya sangat menampilkan peristiwa saat itu dan banyak benar-benar ekspresi orang-orang yang pada saat itu terlibat, cerminan dari kejadian saat itu," ujar Sandhy membagikan kesannya.

Menurut dia, karya foto jurnalistik ANTARA tersebut tampak keren dan menjadi bukti peristiwa bersejarah yang harus didokumentasikan. Foto karya Jaka Sugiyanta yang memotret penyair W.S. Rendra saat membacakan puisi di Gedung MPR/DPR pada Mei 1998 menjadi salah satu foto yang paling membekas bagi Sandhy.

"Karena saya pernah ketemu sama almarhum W.S. Rendra. Nah, itu yang paling nyangkut ke saya," pungkas Sandhy.

Baca juga: Pesan untuk bangsa saat 25 Tahun Reformasi

Baca juga: Muhaimin ingatkan semangat 1998 terus kawal demokrasi dan reformasi

Baca juga: Komnas Perempuan peringati 25 tahun reformasi


Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2023