Jakarta (Antara News) - Para jurnalis kini cenderung menghadapi tekanan dalam menjalankan profesinya dengan tetap bersikap netral, dari para pemilik media yang partisan suatu partai politik .

"Saat ini hampir semua media `mainstream` yang dimiliki sekitar 10 elit pemilik modal sudah atau akan berafiliasi ke partai politik tertentu, terutama menjelang Pemilu 2014. Yang belum tampak adalah awak redaksi dan jurnalis di berbagai media itu mengikuti kehendak bos medianya atau tetap independen," kata Eko Mariadi, ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada diskusi publik bertema "Tirani Media Menghadapi Pemilu 2014" di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, para jurnalis harus menghadapi tantangan untuk menjalankan tugasnya secara independen mengingat para pemilik media akhir-akhir ini cenderung mempunyai keinginan besar terhadap kekuasaan bisnis dan politik.

Dia mengaku telah mendapat banyak keluhan dari masyarakat soal pemberitaan media yang melanggar kepatutan atau kode etik, tidak berimbang, bias kelompok tertentu, tidak berpihak kepada kepentingan umum, dan berita menghakimi (trial by the press).

" Selain itu, ada juga keluhan redaksi media bisa dibeli untuk kepentingan politik tertentu," ujarnya.

Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa polarisasi dan pemusatan kepemilikan media berdampak pada keadaan para jurnalis secara umum.

"Posisi jurnalis sekarang ini tidak begitu kuat meskipun kami sering dianggap sebagai pilar keempat dari demokrasi," ungkapnya.

"Pekerja media dan jurnalis yang dalam posisi lemah harus mengikuti arah redaksi, terutama bila pimpinan redaksinya berafiliasi dengan partai politik tertentu," lanjutnya.

Oleh karena itu, dia mengimbau para jurnalis untuk berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dan prinsip kemandirian serta kenetralan dalam menjalankan tugas sebagai pencari dan penyedia informasi.



Tidak jalankan fungsi

Pada kesempatan itu, manajer program media dan informasi Yayasan TIFA, R. Kristiawan mengatakan banyak dari media di Indonesia sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas demokrasi.

"Media masa pada awalnya berperan penting dalam mendorong demokratisasi. Namun pada akhirnya justru mengancam demokrasi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh para `penumpang gelap` demokrasi," katanya.

Dia menjelaskan, "penumpang gelap" demokrasi itu adalah para politikus yang memanfaatkan media untuk menyebarkan pengaruhnya demi kekuasaan politik dengan mengatasnamakan asas demokrasi.

Menurut dia, ketidakmerdekaan media dan jurnalis sekarang ini disebabkan oleh reformasi media sejak 1994 hanya dipahami pada dimensi liberalisasi politik.

"Tidak banyak yang berpikir pada dimensi liberalisasi ekonomi sehingga segalanya diletakkan pada koridor profit. Para pemilik media lebih mengutamakan ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik," katanya.

Akibatnya, lebih lanjut dikatakannya, para jurnalis yang memprakarsai proses demokratisasi pada akhirnya menjadi korban liberalisasi ekonomi.

"Jadi, dalam hal ini, posisi jurnalis masih lemah maka mereka harus siap menghadapi tekanan dan pengaruh pemilik media yang bertendensi politik dalam melaksanakan fungsinya," kata Kristiawan.***1***



(T.Y012/b/a011)

Arnaz Firman

(T.Y012/B/A011/A011) 06-02-2013 18:24:47

Pewarta: Oleh Yuni Arisandy
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2013