delegasi menekankan "dukungan kuat bagi upaya saat ini oleh Mali untuk memperoleh kembali integritas wilayahnya dan otoritasnya atas seluruh wilayah nasional.
Kairo (ANTARA News) - Negara-negara Islam hari Kamis menyatakan mendukung upaya membantu Mali "memperoleh kembali integritas wilayahnya", dalam sebuah pernyataan yang tampaknya menunjuk pada intervensi militer Prancis di negara Afrika tersebut.

Dalam pernyataan final pertemuan puncak ke-12 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), delegasi menekankan "dukungan kuat bagi upaya saat ini oleh Mali untuk memperoleh kembali integritas wilayahnya dan otoritasnya atas seluruh wilayah nasional".

Teks pernyataan itu tidak secara tegas menyebutkan operasi militer Prancis di Mali. Anggota-anggota OKI seperti Mesir dan Qatar mengecam intervensi Prancis, yang dilakukan setelah Bamako meminta bantuan dalam menangani kelompok-kelompok garis keras bersenjata yang terkait dengan Al Qaida yang menguasai separuh wilayah utaranya.

Para peserta pertemuan puncak itu, yang mewakili 1,5 milyar warga dunia, "mengecam keras tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok teroris dan gerakan serta jaringan kejahatan terorganisasi lain dan penyelundup narkoba".

"Mereka juga mengecam tindakan keji yang dilakukan terhadap warga sipil... dan penghancuran situs-situs budaya, seperti yang diklasifikasi oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia", kata para pemimpin OKI itu.

Pada pertemuan puncak tersebut, OKI menunjuk Menteri Luar Negeri Burkina Faso Djibril Bassoli sebagai untusan khusus untuk Mali dan kawasan Sahel. Demikan diberitakan AFP--yang dipantau ANTARA News, di Jakarta, Jumat.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara. Sebanyak 3.500 prajurit Prancis saat ini sudah berada di daratan Mali.

Para pemimpin pertahanan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS telah setuju meningkatkan jumlah pasukan yang dijanjikan untuk Mali menjadi 5.700. Prancis menyatakan, 2.700 prajurit Afrika telah berada di daratan Mali dan di negara tetangganya, Niger.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

(M014)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013