Kairo (ANTARA News) - Oposisi pada Jumat kembali menyambangi Istana Presiden Mesir, kediaman resmi dan tempat kerja Presiden Moursi.

Ratusan demonstran tampak berjalan teratur sambil meneriakkan yel-yel antipemerintah dan mengusung poster dan spanduk bertuliskan kalimat-kalimat menentang Presiden Mohamed Moursi.

Mereka datang dari beberapa masjid di sekitar Istana di Kairo Timur, termasuk Masjid An Nur di Distrik Abbasea.

Poster dan spanduk, antara lain, bertuliskan "Bubarkan Pemerintah" dan "Runtuhkan Konstitusi Buatan Ikhwanul Muslimin", merujuk pada pembentukan konstitusi baru yang disahkan lewat referendum pada akhir tahun lalu.

Aksi demo serupa terjadi pada hari Jumat pekan lalu yang berubah menjadi bentrokan berdarah antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan sehingga satu orang dan 79 orang luka-luka.

Selain di Istana Ettihadiyah, ribuan pengunjuk rasa juga mendatangi Bundaran Tahrir di pusat kota Kairo usai salat Jumat.

Seperti di Kairo, sejumlah ibu kota provinsi, di antaranya Iskandariyah, Port Said, Terusan Suez, dan Ismailiyah pun tak luput dari aksi demo penentang pemerintah.

Menanggapi maraknya aksi demo tersebut, Presiden Moursi dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa unjuk rasa itu sebagai hal biasa di Mesir pada masa transisi menuju kehidupan demokrasi.

Presiden Moursi juga sebelumnya menyerukan dialog dengan semua kekuatan politik, namun ditanggapi dingin oleh oposisi.

Analis politik Gaber El Sassar menilai mandeknya dialog nasional itu karena masing-masing pihak menetapkan syarat yang saling bertentangan satu sama lain.

"Sebelumnya, tokoh-tokoh oposisi mencakup Mohamed Elbaredai, Amr Moussa, Hamdun Sibahi, menyatakan kesiapan untuk mengikuti dialog nasional, namun mereka menetapkan syarat yang mustahil diterima oleh Presiden Moursi," katanya.

Syarat yang diajukan oposisi, misalnya, Presiden Moursi harus membubarkan pemerintah pimpinan Perdana Menteri Hisham Qandil dan pembentukan kabinet penyelamat bangsa, gagasan yang ditolak Moursi, katanya.

Pada hari Kamis (31/2) pekan lalu, Syeikh Agung Al Azhar mengumpulkan sejumlah tokoh oposisi, termasuk Elbaredai, Moussa, Sibahi, dan wakil pemerintah mencakup Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin.

Dalam pertemuan itu disepakati dialog nasional, namun sejauh ini upaya penyatuan sikap itu belum terlaksana.
(M043/D007)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013