Kairo (ANTARA) - Krisis utang Amerika Serikat (AS) yang terus berulang dari waktu ke waktu telah merusak citra AS sebagai negara adidaya dunia, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah hegemoni dolar AS telah mengesampingkan stabilitas global, kata seorang ekonom Mesir.

"Krisis plafon utang AS merupakan dampak dari kebuntuan politik antara Partai Demokrat dan Partai Republik dalam mencapai kesepakatan," kata Adel Mahmoud, Ketua Cairo Forum for Economic Researches.

Pada Januari, pemerintah AS mencapai plafon utangnya sebesar 31,4 triliun dolar AS (Rp 466.966 triliun). Sejak itu, Departemen Keuangan AS mengingatkan masa yang disebutnya tanggal X, yaitu hari di mana pemerintah AS tidak lagi mampu membayar utangnya.

"Plafon utang menjadi beban besar pemerintah AS baik di dalam maupun luar negeri karena mencerminkan kebuntuan politik dan ketidakmampuan negara  perekonomian terbesar di dunia itu dalam membayar utang-utangnya," kata Mahmoud kepada Xinhua.

Jika pemerintah AS terlambat membayar utang, maka pada akhirnya mereka tidak akan mampu membayar pengeluaran-pengeluaran lain seperti jaminan sosial, perawatan kesehatan, dan gaji pegawai negeri, sambung Mahmoud.

 
  Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Kevin McCarthy berbicara kepada pers di Gedung Capitol di Washington DC pada 31 Mei 2023. (Aaron Schwartz/Xinhua)


Kongres AS telah menyetujui rancangan undang-undang menaikkan plafon utang AS setelah Senat mengesahkannya pada 1 Juni yang merupakan ke-103 kalinya sejak 1945.

Namun demikian, Mahmoud meyakini  krisis ini akan kembali terjadi karena pemerintah AS hidup di luar kemampuannya sendiri dan mengandalkan pinjaman guna memenuhi kebutuhannya.

"Menggantungkan pembuatan kebijakan keuangan kepada politisi yang sudah terpecah belah bukan hanya merugikan AS, tetapi juga membunyikan lonceng tanda bahaya mengenai goyahnya posisi AS dalam menjaga stabilitas ekonomi global," kata dia.

Menurut Mahmoud, alih-alih menyelesaikan masalah utangnya, AS justru mengekspor krisis domestiknya ke negara-negara lain dengan mengambil keuntungan dari dominasi dolar AS.

"Hegemoni dolar AS menghambat fungsi pasar keuangan global dan akan memperburuk perlambatan ekonomi dunia yang disebabkan oleh ketidakpastian Washington dalam membayar utang-utangnya," imbuh dia.

Dia menjelaskan bahwa AS dulunya dianggap tempat yang aman untuk menyimpan aset, namun perdebatan yang partisan di antara pata politisi dan anggota parlemen AS akan meningkatkan sentimen menghindari risiko pada kalangan investor, yang beranggapan AS sudah tidak bisa lagi menjadi tempat penyimpanan aset yang bebas risiko.

Investor sedang mencari alternatif-alternatif baru selain mata uang dan pasar AS. Mengalihkan diri ke mata uang lain pun mmenjadi jalan keluar untuk mencegah timbulnya lagi krisis ekonomi global, pungkas Mahmoud.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023