Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencermati aspek kebijakan dan kemasyarakatan sebagai dua hal penting dalam upaya membantu menurunkan angka stunting atau keterlambatan pertumbuhan pada anak-anak.

Selama ini, angka prevalensi stunting telah mengalami penurunan dari 37 persen pada 2014 menjadi 21,6 persen pada 2022. Pemerintah kemudian menargetkan angka stunting sebesar 14 persen pada 2024.

"Ini bukan sebuah pekerjaan mudah, perlu ada mitigasi mengenai faktor utama risiko. Secara umum, masih ada tantangan dari sisi Pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat sebagai penerima layanan publik," kata Deputi Advokasi, Penggerakan dan Informasi BKKBN Sukaryo Teguh Santoso saat acara virtual tentang stunting, Senin.

Baca juga: Pemerintah terapkan dua pendekatan turunkan angka stunting nasional

Sukaryo mengatakan isu mengenai penanganan stunting mulai bergerak cepat pada tahun 2021 berkat kehadiran Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 yang memobilisasi semua potensi untuk penurunan permasalahan tersebut.

"Ini komitmen yang luar biasa. Di situ tegas, BKKBN sebagai lembaga kementerian non-departemen diberikan mandat khusus untuk mengkoordinasikan hal ini bersama kementerian dan lembaga lain, termasuk Pemerintah Daerah. Dari aspek kebijakan ini tergolong masih baru, mulai ada mobilisasi anggaran daerah dari yang sebelumnya tidak ada," kata Sukaryo.

Kemudian dari aspek masyarakat sebagai penerima layanan publik, lanjut Sukaryo, perlu ada literasi mengenai stunting yang terus berjalan dan hal tersebut menjadi tantangan pada masa ini.

"Pada umumnya masyarakat belum memahami masalah kekurangan gizi ini, apakah tidak pendek itu termasuk stunting? Atau semua yang stunting pasti pendek? Ini tantangan bersama untuk mengedukasi apa itu stunting, apa penyebabnya, bagaimana mencegah dalam konteks kehidupan keluarga," kata Sukaryo.

Baca juga: Kemenkes: Dua komponen intervensi spesifik stunting lampaui target

BKKBN mempelajari tren penurunan prevalensi stunting dari tahun 2007 hingga 2022 yang cenderung fluktuatif, bahkan terdapat kenaikan pada tahun tertentu sebelum 2010. Saat pandemi, kata Sukaryo, angka stunting turun sekitar 1,6 persen.

"Dan 2021-2022 turunnya sangat signifikan 2,6 persen setiap tahun. Meskipun masih belum mencukupi target, namun, ini sebagai langkah awal yang perlu kita syukur pascapandemi," kata Sukaryo.

Turunnya angka stunting pada masa pandemi lalu, kata Sukaryo, berkat koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang memfokuskan energi untuk menangani COVID-19 dengan tetap mengaitkannya pada isu permasalahan gizi anak-anak tersebut. Meski dalam kondisi pembatasan akibat pandemi, kegiatan sosialisasi di lapangan terus digalakkan, tanpa mengabaikan pencegahan COVID-19.

"Selain penyuluhan COVID-19 yang dikaitkan dengan stunting, kami juga kaitkan penyuluhan KB dan pembangunan keluarga dengan pentingnya gizi bagi perkembangan anak-anak. Jadi, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, seluruh komponen di lapangan juga melakukan sosialisasi stunting. Ini suatu hal yang positif," kata Sukaryo.

Baca juga: BKKBN: Strategi Nasional perkuat informasi stunting lebih masif

Baca juga: Konsultan kesehatan: Literasi kesehatan penting untuk tekan stunting

Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023