Jakarta (ANTARA) - Psikolog senior dan Theme Lead on Cognition Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia Risatianti Kolopaking menyebut kestabilan emosi dalam sebuah keluarga amat berperan untuk mencegah anak terkena stunting.

“Kondisi emosi orang tua yang stabil utamanya pada pengasuhan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) mulai dari kehamilan, melahirkan, menyusui, hingga pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) sangat krusial. Jika tidak terpenuhi dapat berisiko menyebabkan stunting,” kata Risa di Jakarta, Jumat.

Risa menuturkan sebenarnya, makna dari stabilitas emosi di keluarga sebagai sebuah ekspresi emosi yang dimiliki setiap orang, dikatakan stabil jika reaksi wajar sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehingga mampu mengekspresikan emosi dengan tepat dan terkontrol.  

Di dalam keluarga, kestabilan emosi erat kaitannya dengan dukungan di keluarga baik antara suami dan istri, ataupun hubungan dengan keluarga lainnya.  

"Hubungan harmonis antara ibu dan ayah, serta peran orang (lain yang) signifikan di keluarga sangat berpotensi berpengaruh, seperti ibu mertua, paman, tante, dan lainnya,” ucap Risa.  

Praktisi Pendidikan yang juga Theme Lead on Education & Shared Values AASH Rita Anggorowati turut menambahkan, kestabilan emosi erat hubungannya dengan pendewasaan usia perkawinan, perencanaan, dan persiapan calon pengantin untuk pencegahan stunting.

Keterbukaan komunikasi di keluarga harus dijadikan sebagai hal yang lumrah, seperti penerimaan, mengakui kesalahan, dan kejujuran, sehingga masalah dapat dikelola dengan baik dan saling dukung apapun kondisinya, hal ini mampu menjaga pola asuh yang diberikan kepada anak tetap berjalan baik.

Contohnya, ketika melakukan penelitian ke sekolah-sekolah ditemukan sebuah fenomena unik dimana anak dengan bapak yang turut aktif mengambil banyak peran dalam pengasuhan cenderung lebih percaya diri dan mengonsumsi makanan yang relatif lebih sehat.  

“Ini adalah hal yang penting. Lingkungan pendidikan dalam memenuhi kekosongan stimulasi psikososial di keluarga utamanya pada anak yang kurang beruntung dengan kondisi keluarga yang tidak ideal,” ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN Irma Ardiana mengatakan pemerintah melalui sudah mulai melakukan survei lima tahun sekali untuk memantau kondisi emosi keluarga di Indonesia sejak tahun 2021 melalui Indeks Pembangunan Keluarga (i-Bangga).

i-Bangga bisa melihat faktor apa yang menyebabkan potensi stres dalam keluarga meningkat. Misalnya seperti efek pasca pandemi baik dari sisi ekonomi ekonomi, pendidikan, pekerjaan, termasuk pengasuhan.

Irma turut mengatakan Survei SSGI tahun 2022 menunjukkan bahwa prevalensi stunting masih sebesar 21,6 persen. Dengan demikian, ia berharap semakin banyak penelitian-penelitian di Indonesia mengenai stunting dan intervensinya.

“Pada momen Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2023, saya mengajak masyarakat untuk menguatkan kesadaran betapa besarnya peran keluarga dari segala sisi dalam mencegah adanya anak yang stunting,” katanya.

Baca juga: BKKBN: Program kemandirian pangan dorong penurunan stunting di Sumsel

Baca juga: Harganas, IDI serukan bangun ketahanan bangsa lewat kesehatan keluarga

Baca juga: Kepala BKKBN bekali 1.220 kader ilmu stunting sambut Harganas 2023


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023