Saya cuma `mikir` kalau kamar banyak tetapi lalu ada `gap` beban, terus bagaimana?"
Semarang (ANTARA News) - Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI Eva Kusuma Sundari berpendapat makin sedikit kamar di Mahkamah Agung akan semakin ramping organisasinya, kemudian merata dalam distribusi hakim agung maupun beban kerjanya.

"Saya cuma `mikir` kalau kamar banyak tetapi lalu ada `gap` beban, terus bagaimana?" kata Eva K. Sundari dari Sydney, Australia, kepada Antara di Semarang, Minggu.

Keberadaan Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI berkunjung ke Sydney dalam rangka menghadiri dialog antara pemerintah Indonesia dan Australia. Kegiatan ini merupakan program Kementerian Luar Negeri RI.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mulai September 2011 menerapkan sistem kamar di lembaga peradilan, yang terdiri atas Kamar Pidana, Perdata, Agama, Tata Usaha Negara, dan Kamar Militer.

Namun, di dalam Keputusan Mahkamah Agung (KMA) 017/2012 tentang Penerapan Sistem Kamar diatur bahwa ketua kamar dijabat oleh unsur pimpinan, yakni memiliki sembilan ketua muda dengan perincian tujuh ketua muda bidang perkara dan dua ketua muda nonperkara.

Begitu pula, klasul di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang kini masih dalam pembahasan di DPR RI disebutkan kamar di MA akan dibagi menjadi tujuh kamar.

Eva mengemukakan bahwa seyogianya Kamar Pajak menjadi satu dengan Kamar Tata Usaha Negara, kemudian Kamar Tindak Pidana Korupsi bergabung dengan Kamar Pidana Umum.

Dengan demikian, kata Eva, hal itu sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang tujuannya adalah perbaikan pelayanan.

Sebelumnya, dua peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil dan Dian Rosita, menilai kamar di MA menjadi tujuh kamar--plus Kamar Pajak dan Kamar Tata Negara--tidaklah tepat dan tidak sesuai di tengah upaya perombakan organisasi MA ke arah yang lebih efisien (right-sizing).
(D007/Z003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013